Hari Raya Pagerwesi: Makna, Filosofi, dan Upakara, Tidak Boleh Duduk di Kursi?

Author:
Share

Dalam siklus kalender Pawukon yang berulang setiap 210 hari, umat Hindu Bali merayakan berbagai hari suci penuh makna. Salah satunya adalah Hari Raya Pagerwesi, yang jatuh pada Rabu Kliwon Wuku Sinta, empat hari setelah Saraswati. Pagerwesi kerap dimaknai sebagai hari untuk “memagari diri” dengan iman dan pengetahuan, agar manusia tidak jatuh dalam kegelapan batin.

Secara etimologis, kata Pagerwesi berasal dari dua kata: pager yang berarti pagar, dan wesi yang berarti besi. Gabungan keduanya melambangkan pagar besi yang kokoh, simbol perlindungan yang kuat terhadap godaan duniawi maupun musuh batin.

Dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi disebut sebagai hari pemujaan kepada Sang Hyang Pramesti Guru, manifestasi Dewa Siwa, yang bersama Dewata Nawa Sanga menjaga keseimbangan jagat.

Pagerwesi memiliki hubungan erat dengan rangkaian Hari Saraswati. Saraswati adalah perayaan turunnya ilmu pengetahuan. Setelah menerima pengetahuan itu, manusia diingatkan agar menjadikannya pagar batin yang kokoh. Dengan kata lain, Pagerwesi adalah kelanjutan spiritual untuk memelihara ilmu, mengendalikan hawa nafsu, dan menjaga diri dari kebodohan (Awidya).

BACA JUGA  Mengenal 6 Tumpek, Lengkap Makna, Jenis, dan Perayaan dalam Tradisi Hindu Bali

Filosofi Pagerwesi menekankan pentingnya pengendalian diri terhadap Sad Ripu – enam musuh dalam diri: kama (nafsu), loba (keserakahan), krodha (amarah), mada (kemabukan), moha (kebingungan), dan matsarya (iri hati). Dengan menjadikan ilmu dan iman sebagai pagar, manusia diharapkan dapat menjalani hidup selaras dengan dharma.

Seperti hari suci lainnya, Pagerwesi dilaksanakan dengan upacara persembahan (banten) baik di tingkat keluarga maupun desa adat.

Bagi pendeta (purohita): upakara utama adalah Sesayut Panca Lingga, dilengkapi daksina, suci pras penyeneng, dan banten penek. Prosesi ini diiringi dengan ngarga dan mapasang lingga sebagai simbol penyatuan energi kosmis.

BACA JUGA  Anggar Kasih di Bali, Rahinan Kasih yang Menyucikan Batin dan Alam, Lengkap Makna hingga Banten

Bagi umat awam: biasanya mempersembahkan Sesayut Pageh Urip, prayascita, dapetan, serta daksina dan canang. Ritual dilakukan di sanggah/merajan keluarga, kemudian dilanjutkan ke pura desa maupun pura kahyangan jagat.

Yoga-samadhi: pada malam Pagerwesi, beberapa sulinggih melaksanakan tapa yoga-samadhi sebagai simbol memagari diri dengan kesadaran penuh, disertai persembahan untuk Panca Maha Bhuta di halaman sanggah.

Dengan demikian, Pagerwesi bukan sekadar ritual seremonial, tetapi juga aktualisasi spiritual dalam kehidupan sehari-hari.

Di beberapa daerah seperti Buleleng, Pagerwesi dirayakan meriah layaknya Hari Raya Galungan. Masyarakat melakukan persembahyangan ke setra (kuburan leluhur) sebagai bentuk penghormatan dan penguatan hubungan spiritual dengan leluhur. Di wilayah lain, Pagerwesi lebih terfokus pada sembahyang di merajan keluarga dan pura desa adat.

BACA JUGA  Arti Mimpi Tertembak dalam Perspektif Hindu atau Primbon Bali, Pertanda Buruk?

Selain itu, Pagerwesi juga dianggap momen introspeksi untuk memperkuat Tri Hita Karana – keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. Filosofi ini menegaskan bahwa pagar besi bukan hanya melindungi diri secara spiritual, tetapi juga menjaga harmoni hidup dalam komunitas.

Meski zaman berubah, esensi Pagerwesi tetap relevan. Tantangan manusia modern bukan hanya godaan material, tetapi juga arus informasi yang sering menjerumuskan pada kebingungan batin. Dengan menjadikan Pagerwesi sebagai momen refleksi, umat diingatkan untuk menggunakan ilmu dengan bijak, menjaga integritas moral, dan menegakkan pagar diri agar tidak goyah diterpa perubahan zaman.

Lalu ada mitos yang beredar jika saat Pagerwesi tak boleh menduduki kursi. Benarkah itu? Jawabannya tidak. Itu hanyalah mitos. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!