Inilah Kutukan Dewa Siwa Kepada Dewa Brahma, Akhir dari Sebuah Kebohongan

Author:
Share
Ist

Ini
adalah salah satu mitologi Hindu terkait dengan dewa Brahma dan Dewa Siwa.
Dimana Dewa Brahma dikutuk oleh Dewa Siwa. Kisah ini terdapat dalam Kurma
Purana, Vayu Purana, dan Siwa Purana yang mengisahkan pencarian oleh Dewa
Brahma dan Dewa Wisnu untuk menemukan Anadi (awal) dan Ananta (akhir) dari Dewa
Siwa, di mana kisahnya tertuang dalam Legenda Siwa Lingga.

Berdasar
purana tersebut, dua dari Dewa Tri Murti, yakni Brahma dan Wisnu menunjukkan
kemampuannya masing-masing. Lantaran keduanya punya kekuatan, dewa lainnya
takut akan terjadi pertempuran yang kian sengit. Para dewa lainnya lantas
meminta Siwa menjadi penengah.

Dewa
Siwa selanjutnya muncul berbentuk Lingga yang menyala di antara Brahma dan
Wisnu, dan  kemudian menantang keduanya dengan meminta mereka untuk
mengukur panjang dari Lingga. Terpesona oleh besarnya, Brahma dan Wisnu
memutuskan untuk mencari ujung Lingga itu.

Dewa
Brahma berubah bentuk menjadi Angsa dan melesat  ke atas, sementara Dewa
Wisnu mengambil bentuk Varaha (babi hutan) dan masuk ke tanah menuju ujung
bumi. Keduanya mencari ribuan mil, tetapi tidak bisa menemukan ujung akhirnya.

Pada
perjalanannya ke atas, Brahma menemukan bunga Ketaki. Lantaran lelah dan
bingung dengan pencariannya yang tak juga menemukan ujung teratas dari
lingga yang berapi-api, Brahma lalu sepakat dengan bunga Ketaki untuk berbohong
bahwa ia telah menemukan ujung teratas dan bunga itu berada.

Dewa
Brahma lalu turun dan bertemu dengan Dewa Wisnu, dan menegaskan bahwa ia telah
menemukan ujung Lingga itu. Namun, setelah pernyataan Brahma tersebut, 
tiba-tiba bagian tengah Lingga terbelah dan Siwa muncul.

Dewa
Brahma dan Wisnu kemudian membungkuk memberi hormat karena kemahakuasaan Dewa
Siwa. Dalam kesempatan tersebut, Dewa Siwa juga menjelaskan kepada Brahma dan
Wisnu, bahwa keduanya lahir dari Dia dan kemudian dipisahkan menjadi tiga aspek
kemahakuasaan Tuhan.

Dewa
Brahma sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan Dewa Siwa sebagai
pelebur (Pemralina). Namun, Dewa Siwa marah dengan Dewa Brahma  karena
telah berbohong.

Kemudian
Dewa Brahma dikutuk bahwa tidak seorang pun yang akan berdoa kepada-Nya. Dewa
Siwa juga menghukum bunga Ketaki karena ikut berbohong dan melarang dia
digunakan sebagai persembahan ibadah apa pun.

Karena
itu pada hari ke-14 (Bulan Gelap) bulan Phalguna, Dewa Siwa mengubah bentuk
menjadi Lingga, dan pada hari itu pula diperingati sebagai Mahashivaratri ,
yakni malam pemujaan Siwa. Legenda ini sekaligus menjelaskan mengapa sedikit
pemuja Brahma, termasuk minimnya Candi Brahma ditemui di India dan negara
lainnya, termasuk juga di Bali.

Ada
juga versi lain dari kisah ini yang dilansir dari IDNTimes.com. Dikisahkan, di
awal waktu, Brahma dan Wisnu saling berargumen siapa yang paling hebat di
antara mereka. Saking sengitnya, Brahma dan Wisnu sudah siap saling bunuh
dengan astra pemungkasnya. Melihat hal tersebut membahayakan dunia, Dewa Siwa berubah
menjadi lingga berapi dan meminta mereka berdua untuk mengukurnya.

Siapa
yang paling cepat mengukur lingga tersebut adalah yang paling hebat. Wisnu
berubah menjadi babi rusa dan pergi ke bawah lingga tersebut, sementara Brahma
naik ke atas dalam bentuk angsa. Melihat usaha mereka yang sia-sia, Siwa
tersenyum dan bunga ketaki (Pandanus odorifer) jatuh dari kepalanya.

Wisnu
sadar bahwa ini adalah perbuatan Siwa dan mengaku kalah. Tetap angkuh, Brahma
malah berbohong bahwa ia sudah selesai mengukur lingga tersebut. Malah, Brahma
meminta bunga ketaki untuk bersaksi palsu. Wisnu lalu mengakui Brahma terhebat
dan menyembahnya.

Tiba-tiba,
Siwa pun muncul dari lingga tersebut. Siwa memuji kebijaksanaan dan kesetiaan
Wisnu dan menyatakannya setara dengan sang Batara, Siwa murka dan mengutuk
Brahma bahwa ia tak akan disembah di dunia. Selain itu, Siwa juga mengutuk
bunga ketaki agar tak dipakai di pemujaan Hindu mana pun. (TB)

 

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!