Komunitas Kawiya Bali bekerja sama dengan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali menggelar diskusi bertajuk “Membaca Rasta Sindhu: Mengenang 82 Tahun Sastrawan Bali” pada Jumat (29/8/2025) di Sekretariat Kawiya Bali, Desa Darmasaba, Abiansemal, Badung.
Acara ini menghadirkan narasumber I Made Sujaya (Dekan FBS UPMI Bali) dan Putu Supartika (sastrawan sekaligus wartawan), dengan moderator I Made Subrata dari Kawiya Bali. Diskusi menjadi momentum penting untuk mengenang kembali sosok I Nyoman Rasta Sindhu (1943–1972), sastrawan asal Belok Sidan, Petang, Badung.
Nama Rasta Sindhu mungkin tak sepopuler Putu Wijaya atau Panji Tisna, namun ia punya kontribusi penting dalam sejarah sastra Indonesia.
Lahir di Denpasar pada 31 Agustus 1943, Rasta Sindhu meninggal dunia pada 14 Agustus 1972 saat usianya baru 29 tahun. Meski singkat, jejak kepenulisannya sangat berpengaruh.
Karya-karyanya tersebar di media nasional seperti Kompas, Sinar Harapan, Horison, Mimbar Indonesia, Basis, dan Sastra. Pada 1969, ia meraih Hadiah Sastra Horison lewat cerpen Ketika Kentongan Dipukul di Balai Banjar.
“Sayang, usianya begitu singkat. Rasta Sindhu meninggal dunia pada 1972, ketika baru berumur 29 tahun,” kata Putu Supartika.
Dekan FBS UPMI Bali, I Made Sujaya, mengungkapkan bahwa dokumentasi karya Rasta Sindhu masih sangat terbatas.
“Ada catatan yang menyebutkan beliau menulis hingga 85 cerpen dan 250 puisi. Namun yang saya temukan hanya 18 cerpen. Itu pun sudah cukup representatif, meski jelas masih banyak yang hilang,” ujarnya.
Sujaya menekankan perlunya upaya sistematis mendokumentasikan karya Rasta Sindhu dalam bentuk buku maupun audiovisual.
Rasta Sindhu dikenal sebagai penulis yang tajam, berani, dan berpihak pada nilai kemanusiaan. Ia menulis tentang konflik sosial, adat, hingga kritik terhadap tahayul dalam masyarakat Bali.
“Rasta Sindhu sudah mengangkat lokalitas Bali ke dalam sastra jauh sebelum ramai dibicarakan tahun 1980-an,” tambah Sujaya.
Ketua Kawiya Bali, I Putu Suryadi, menyebut acara ini sebagai langkah awal kerja sama dengan pemerintah daerah untuk menggali potensi sastra desa-desa.
Kabid Sejarah Dinas Kebudayaan Badung, Ni Nyoman Indrawati, mengapresiasi kegiatan ini. “Diskusi ini membuka wawasan bahwa ternyata ada sosok sastrawan besar dari Badung yang selama ini kurang mendapat perhatian,” katanya. (TB)