Kenapa Benang Tri Datu Digunakan Umat Hindu di Bali? Ini Sejarah, Makna dan Fungsinya

Author:
Share

Di tengah kekayaan spiritual masyarakat Bali, terdapat simbol sederhana namun sarat makna yang bernama benang Tri Datu. Gelang ini terdiri dari tiga warna benang—merah, hitam, dan putih—yang tidak sekadar hiasan, melainkan mencerminkan nilai-nilai luhur dalam ajaran Hindu.

Warna-warna tersebut menggambarkan perwujudan tiga aspek utama Tuhan dalam konsep Trimurti: Brahma sebagai pencipta (merah), Wisnu sebagai pemelihara (hitam), dan Siwa sebagai pelebur (putih).

Benang Tri datu tidak dianggap sebagai jimat atau benda bertuah, melainkan sebagai simbol pengingat agar manusia senantiasa hidup dalam keseimbangan antara penciptaan, pemeliharaan, dan penyucian.

Dalam keseharian, gelang ini juga menjadi pengingat agar umat Hindu menjaga kebajikan (dharma), menolak keburukan (adharma), dan menyadari siklus kehidupan yang terus berputar.

BACA JUGA  Doa atau Mantra Hindu Sebelum Memulai Pekerjaan, Permohonan Kelancaran dan Keberhasilan

Jika ditilik dari sisi sejarah, penggunaan benang Tri datu mulai dikenal luas pada abad ke-14 hingga ke-15, pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong di Bali. Ketika itu, Patih Jelantik ditugaskan untuk menaklukkan Dalem Bungkut dari kerajaan Bedaulu.

Setelah kemenangan dicapai, lahirlah perjanjian penting antara Bali dan Nusa Penida, termasuk kesepakatan spiritual yang melibatkan sosok Ratu Gede Macaling—seorang tokoh yang diyakini akan melindungi umat yang setia kepada Tuhan dan nenek moyang, serta menghukum mereka yang lalai.

Sebagai bentuk perlindungan simbolis, masyarakat yang taat kepada ajaran leluhur diberi benang Tridatu untuk membedakan mereka dari yang lalai. Tradisi ini kemudian berkembang dan menjadi bagian dari praktik keagamaan dalam berbagai upacara, baik dalam ritual persembahan kepada para dewa maupun dalam upacara untuk manusia seperti pawintenan atau inisiasi spiritual.

BACA JUGA  Biodata dan Profil I Ketut Suwendra, Transmigran Asal Klungkung Jadi DPR RI dari Lampung

Pada awalnya, gelang Tridatu dibuat dan dibagikan di pura-pura besar, seperti Pura Dalem Ped di Nusa Penida. Namun seiring waktu, penggunaannya meluas ke seluruh Bali bahkan hingga di luar pulau.

Kini, benang Tridatu bisa dijumpai tidak hanya di tempat ibadah, tetapi juga di toko-toko dan pusat oleh-oleh. Penggunanya pun tak terbatas pada umat Hindu, melainkan juga wisatawan atau orang-orang yang tertarik pada filosofi dan energi positif yang diyakini terkandung dalam gelang ini.

BACA JUGA  Bagaimana Cara Menanam Ari-Ari Bayi dalam Budaya Bali? Ini Persiapan, Bahan dan Perlakuan untuk Laki-laki dan Perempuan

Meskipun kini juga menjadi bagian dari tren fesyen, nilai spiritual benang Tridatu tetap dijunjung tinggi. Pemakaiannya disarankan di pergelangan tangan atau leher, tidak di kaki karena dianggap tidak sopan.

Lebih dari sekadar aksesori, benang Tridatu menjadi representasi dari kesadaran akan tiga fase kehidupan manusia—kelahiran, kehidupan, dan kematian—serta kehadiran Tuhan dalam tiap tahapnya.

Dengan mengenakan benang Tridatu, umat Hindu diajak untuk selalu mawas diri, menjaga keseimbangan batin, serta mengingat bahwa dalam hidup ini ada kekuatan agung yang senantiasa hadir dan membimbing. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!