Di tengah arus modernisasi, upaya pelestarian warisan leluhur terus dilakukan. Penyuluh Bahasa Bali, di bawah naungan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, kembali turun ke lapangan untuk melakukan konservasi lontar yang dimiliki masyarakat. Kali ini, mereka beraksi di Kabupaten Klungkung, menggelar Festival Konservasi Lontar serangkaian Bulan Bahasa Bali (BBB) VII.
Kegiatan ini berlangsung di dua lokasi, yakni Griya Sakti Desa Nyalian, Kecamatan Banjarangkan, dan Banjar Tiing Jajang, Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida. “Awalnya, konservasi hanya direncanakan di Desa Nyalian. Namun, karena jumlah lontar di sana terbatas, kami menambah satu lokasi lagi di Nusa Penida,” ungkap Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Klungkung, I Wayan Arta Diptha.
Di Desa Nyalian, tim konservasi menghadapi tantangan besar. Dari 31 cakep lontar milik Ida Bagus Alit Putra Parwata, hanya 9 cakep yang berhasil diidentifikasi, sementara 22 lainnya dalam kondisi rusak. “Sebagian lontar dimakan rayap, beberapa tak terawat, bahkan ada yang tidak lengkap. Ini membuat proses identifikasi sangat sulit,” jelas Arta Diptha.
Kondisi serupa juga terjadi di Desa Sakti, Nusa Penida, tempat tim penyuluh melakukan konservasi pada 31 cakep lontar milik I Ketut Tangkas. Di lokasi ini, 14 penyuluh dikerahkan untuk menyelamatkan lontar yang mengalami degradasi akibat usia dan lingkungan.
Lontar yang dikonservasi merupakan bagian dari ‘Druwen Krama’, atau naskah milik masyarakat yang diwariskan turun-temurun. Lontar ini tidak hanya menyimpan ajaran sastra dan agama, tetapi juga menjadi saksi sejarah perjalanan leluhur. “Jika tidak dirawat, lontar-lontar ini bisa punah dan kita kehilangan jejak sejarah yang berharga,” tambah Arta Diptha.
Dengan upaya konservasi ini, diharapkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya menjaga lontar sebagai warisan budaya. Festival Konservasi Lontar menjadi momentum untuk menghidupkan kembali nilai-nilai adiluhung yang tersimpan di balik lembaran-lembaran lontar yang mulai rapuh. (TB)