Kepala UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Timur, Made Maha Widyartha, memberikan penjelasan terkait pemberitaan yang menyebut adanya pembangunan vila di kawasan hutan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Dalam keterangan tertulis yang diterima media, Made menegaskan bahwa proyek yang dimaksud bukan pembangunan vila di kawasan hutan lindung, melainkan sarana dan prasarana wisata alam di kawasan konservasi yang telah mendapatkan izin sesuai ketentuan.
“Kami perlu meluruskan informasi yang beredar. Lokasi kegiatan tersebut berada di kawasan konservasi, bukan di hutan lindung. Pembangunan di kawasan konservasi dimungkinkan selama bertujuan mendukung fungsi wisata alam dan tetap menjaga kelestarian ekosistem,” jelasnya.
Klarifikasi ini dikeluarkan setelah munculnya berita di salah satu portal daring yang menyebut adanya pembangunan vila di kawasan hutan lindung. Informasi tersebut kemudian viral dan memicu kesalahpahaman publik mengenai pengelolaan kawasan hutan di Kintamani.
Made Maha Widyartha menegaskan, pembangunan fasilitas wisata alam tersebut dilakukan berdasarkan izin dan kajian teknis yang sah, serta mengacu pada peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pembangunan tersebut berlandaskan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.8 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Konservasi dan Permen LHK Nomor P.13 Tahun 2020 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Wisata Alam di Kawasan Hutan.
Dalam aturan itu, pembangunan fasilitas seperti jalur interpretasi, shelter, pos informasi, toilet, dan eco-lodge diperbolehkan, selama mengikuti zonasi kawasan konservasi dan memperoleh persetujuan teknis dari otoritas kehutanan.
“Batas maksimal luas bangunan fisik hanya 10 persen dari total area pemanfaatan yang tercantum dalam izin. Ketentuan ini memastikan fungsi konservasi tetap terjaga,” ujar Made menegaskan.
KPH Bali Timur memastikan seluruh proses pembangunan tetap mematuhi prinsip pelestarian lingkungan. Desain bangunan diwajibkan ramah lingkungan, tidak merusak bentang alam, dan melibatkan masyarakat sekitar dalam pengelolaannya.
Selain itu, setiap kegiatan wajib memiliki dokumen teknis seperti site plan, UKL-UPL, atau AMDAL, sebagai bentuk komitmen terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Kami terus melakukan pengawasan di lapangan untuk memastikan semua kegiatan berjalan sesuai aturan dan tidak menimbulkan dampak ekologis,” tegas Made.
Menutup klarifikasinya, Kepala KPH Bali Timur mengimbau masyarakat agar tidak mudah percaya pada informasi yang belum terverifikasi. Ia juga membuka ruang komunikasi bagi siapa pun yang ingin memperoleh penjelasan langsung terkait kegiatan di kawasan tersebut.
“Kami siap memberikan data dan klarifikasi bila diperlukan. Semua pembangunan di kawasan konservasi dilakukan transparan dan sesuai mekanisme hukum yang berlaku,” pungkasnya. (TB)
