Pulau Bali tidak hanya kaya akan budaya dan tradisi unik, tetapi juga memiliki berbagai ritual sakral yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Salah satunya adalah Mabuug-buugan, sebuah tradisi mandi lumpur yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Kedonganan, Badung.
Tradisi ini berlangsung sehari setelah perayaan Hari Raya Nyepi, tepatnya pada Ngembak Geni.
Uniknya, Mabuug-buugan merupakan satu-satunya tradisi mandi lumpur di Bali dan telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sejak tahun 2019.
Secara etimologi, Mabuug-buugan berasal dari kata buug dalam bahasa Bali, yang berarti lumpur.
Tradisi ini mencerminkan simbol pembersihan diri dari segala kekotoran lahir dan batin setelah menjalani Catur Bratha Penyepian.
Lumpur yang digunakan dalam prosesi ini melambangkan kekotoran jiwa manusia, sementara air laut yang digunakan untuk membilas tubuh melambangkan kesucian dan penyucian diri.
Selain sebagai bentuk penyucian diri, Mabuug-buugan juga memiliki nilai ritual agraris.
Masyarakat Desa Adat Kedonganan meyakini bahwa tradisi ini adalah bentuk rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kesuburan tanah dan kesejahteraan yang diberikan.
Tradisi ini juga menggambarkan hubungan erat manusia dengan alam serta keterbatasannya dalam menghadapi kekuatan bhuta, atau unsur alam yang tidak dapat dikendalikan manusia.
Rangkaian acara Mabuug-buugan diawali dengan persembahyangan di Pura Kahyangan Desa.
Setelah itu, seluruh peserta turun ke kawasan hutan mangrove untuk melumuri tubuh mereka dengan lumpur.
Ritual ini dipercaya sebagai cara menghilangkan energi negatif yang melekat pada tubuh manusia.
Setelah proses ini selesai, peserta kemudian berbondong-bondong menuju pantai barat Kedonganan untuk membersihkan diri dengan air laut, yang melambangkan pemurnian jasmani dan rohani.
Mabuug-buugan merupakan tradisi kuno yang telah ada sejak sebelum penjajahan di Indonesia.
Berdasarkan penuturan masyarakat setempat, tradisi ini dahulu dilakukan bertepatan dengan Hari Raya Nyepi, karena pada saat itu masyarakat diperbolehkan beraktivitas dengan syarat tidak membawa barang apapun yang mencurigakan bagi penjajah.
Namun, setelah terjadi berbagai peristiwa besar seperti letusan Gunung Agung tahun 1963 dan G30S/PKI pada 1965, tradisi ini sempat terhenti.
Seiring waktu, masyarakat Kedonganan menghidupkan kembali tradisi ini dan menetapkan Umanis Nyepi sebagai hari pelaksanaannya.
Hal ini bertujuan agar tetap menghormati kesakralan Hari Raya Nyepi, sekaligus melanjutkan ritual yang memiliki nilai filosofi mendalam. (TB)