![]() |
Istimewa |
Pada suatu masa di Hastinapura, hiduplah Raja Parikesit, putra Abimanyu, cucu Arjuna, dan penerus takhta Dinasti Kuru yang agung. Ia dikenal sebagai penguasa yang gagah berani, namun kadangkala diliputi amarah yang sulit ia kendalikan. Di bawah pemerintahannya, Hastinapura makmur, tetapi suatu peristiwa di tengah hutan mengubah jalan hidup Sang Raja selamanya.
Pada suatu hari yang cerah, Raja Parikesit memutuskan untuk pergi berburu di hutan. Bersama pengawal dan pemburu kerajaan, ia menunggang kudanya dengan penuh semangat, mengejar seekor kijang yang lincah melintasi belantara. Namun, kijang itu menghilang, lenyap seperti bayangan di balik pepohonan rimbun. Sang Raja terus mencari hingga ia terpisah dari rombongannya dan menemukan dirinya berada di sebuah tempat sunyi di dalam hutan.
Di tengah keheningan itu, ia melihat seorang pendeta tua bernama Bagawan Samiti yang sedang bertapa dalam diam. Raja Parikesit menghampiri sang pendeta dan bertanya, “Wahai Bagawan, apakah engkau melihat seekor kijang berlari melintasi tempat ini?”
Namun, Bagawan Samiti tetap membisu. Ia tidak membuka matanya ataupun memberikan jawaban. Sang Raja merasa diabaikan. Kemarahannya memuncak, karena ia menganggap tindak diam sang pendeta sebagai bentuk penghinaan terhadap seorang raja. Dalam kemarahannya, Parikesit melihat seekor ular mati di tanah. Ia mengambil bangkai ular itu dan mengalungkannya ke leher sang pendeta, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan puas.
Ketika putra Bagawan Samiti, seorang brahmana bernama Srenggi, mengetahui penghinaan yang dilakukan Raja Parikesit terhadap ayahnya, amarahnya meledak seperti api yang disiram minyak. Ia merasa bahwa kehormatan keluarganya telah diinjak-injak oleh tindakan Sang Raja. Dengan mata yang menyala penuh dendam, Srenggi mengucapkan sebuah kutukan yang mengerikan.
“Raja Parikesit,” ujar Srenggi dengan suara bergema, “dalam tujuh hari dari hari ini, engkau akan menemui ajalmu karena gigitan ular berbisa. Tak seorang pun dapat menyelamatkanmu dari takdir ini.”
Berita tentang kutukan Srenggi sampai ke telinga Raja Parikesit. Sang Raja, yang awalnya merasa percaya diri dengan kekuasaannya, mulai merasakan bayang-bayang ketakutan. Ia sadar bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak dapat dilawan, bahkan oleh seorang raja sekalipun. Meski demikian, ia tidak menyerah begitu saja. Ia memerintahkan pembangunan sebuah menara tinggi yang kokoh untuk melindungi dirinya. Menara itu dijaga ketat oleh para prajurit terbaiknya, dan para tabib kerajaan disiagakan untuk berjaga-jaga jika ada serangan ular berbisa.
Hari demi hari berlalu. Ketegangan semakin memuncak di istana Hastinapura. Semua perhatian tertuju pada Raja Parikesit yang mengasingkan diri di menara perlindungannya. Di dalam menara itu, ia berdoa dan bermeditasi, berharap dapat mengubah takdir yang telah ditentukan.
Pada hari ketujuh, suasana di sekitar menara dipenuhi kekhawatiran. Para prajurit memeriksa setiap sudut menara dengan teliti, memastikan bahwa tidak ada ular yang bisa menyelinap masuk. Semua makanan yang dihidangkan untuk Raja Parikesit diperiksa dengan ketat. Mereka tidak meninggalkan celah sedikit pun untuk bahaya.
Namun, tak ada yang menyangka bahwa naga legendaris bernama Taksaka sedang merencanakan sesuatu yang licik. Dengan kekuatan sihirnya, Taksaka menyamar menjadi seekor ulat kecil dan bersembunyi di dalam sebuah buah jambu yang dihidangkan kepada Raja Parikesit.
Ketika Sang Raja memakan jambu itu, Taksaka kembali ke wujud aslinya dan menggigit Raja Parikesit dengan bisa mematikan. Dalam sekejap, racun menyebar ke seluruh tubuh Sang Raja. Para tabib yang berjaga-jaga di menara berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan Sang Raja, tetapi semua usaha mereka sia-sia. Raja Parikesit menghembuskan napas terakhirnya di hari yang telah diramalkan oleh kutukan Srenggi.
Kematian Raja Parikesit menjadi pelajaran bagi banyak orang di Hastinapura dan sekitarnya. Tindakan yang didasari oleh amarah dan ketidaksabaran dapat membawa malapetaka yang tak terduga. Meskipun Raja Parikesit adalah seorang penguasa yang hebat, ia tidak mampu menghindari takdir yang telah ditetapkan oleh kutukan seorang brahmana.
Cerita ini kemudian menjadi bagian dari sejarah Dinasti Kuru, yang mengajarkan bahwa kekuasaan dan kekuatan bukanlah segalanya. Dalam kehidupan, kehormatan dan kebijaksanaan adalah hal yang lebih penting untuk dijunjung tinggi. (TB)
Baca Lanjutan Mahabharata Episode 3