Setelah Maharaja Parikesit mangkat karena serangan Naga Taksaka, tahtanya diwariskan kepada putranya, Janamejaya. Kala itu, Janamejaya masih kanak-kanak, tetapi kebijaksanaan dan kesaktian telah tampak dalam dirinya. Parasnya rupawan, tutur katanya lembut, tetapi penuh wibawa. Para menteri dan tetua kerajaan membimbingnya dalam masa transisi, memastikan bahwa kerajaan Hastinapura tetap kuat dan terjaga.
Ketika menginjak usia dewasa, Janamejaya dinikahkan dengan Bhamustiman, putri cantik dari Kerajaan Kasi yang terkenal akan keanggunan dan kecerdasannya. Pernikahan ini mempererat aliansi antarkerajaan, menjadikan Hastinapura semakin dihormati oleh kerajaan-kerajaan lain. Bersama sang permaisuri, Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana. Rakyat memujinya karena keputusannya selalu mengutamakan kesejahteraan bersama.
Namun, tugas sebagai raja tidaklah mudah. Janamejaya menghadapi berbagai tantangan, termasuk pemberontakan kecil di wilayah perbatasan. Ketika desa Taksila, sebuah wilayah yang terkenal akan keberaniannya, mencoba melepaskan diri dari Hastinapura, Raja Janamejaya memimpin pasukannya sendiri ke medan perang. Dengan strategi yang cerdik dan keberanian yang luar biasa, Janamejaya berhasil menaklukkan Taksila. Desa itu pun tunduk di bawah panji Hastinapura.
Usai peperangan, seorang resi tua bernama Uttangka datang menghadap ke istana. Dengan jubah kumal tetapi sorot mata penuh dendam, Uttangka membawa pesan yang mengguncang hati Sang Raja. Resi itu bersujud di hadapan Janamejaya dan berkata dengan nada penuh kepedihan, “Wahai Raja Agung, aku datang untuk mengingatkanmu tentang sebuah dendam lama. Tahukah engkau, bahwa ayahandamu, Maharaja Parikesit, meninggal bukan karena ajalnya, melainkan karena ulah Naga Taksaka? Aku sendiri menjadi saksi kebiadaban Taksaka yang meracuninya.”
Janamejaya tertegun mendengar penuturan tersebut. Meski ia telah mendengar kabar kematian ayahnya, detail kejadiannya tidak pernah diceritakan sejelas ini. Dengan penuh rasa ingin tahu, Janamejaya meminta Uttangka untuk melanjutkan ceritanya.
“Tuanku,” lanjut Uttangka, “Naga Taksaka adalah makhluk licik dan kejam. Ia membunuh ayahandamu dengan tipu daya, mengakibatkan kesedihan besar bagi seluruh negeri. Aku, sebagai pelayan yang setia pada Hastinapura, datang kepadamu untuk meminta keadilan. Jika engkau raja yang adil dan berani, maka hukumlah Naga Taksaka dan balaskan kematian ayahandamu!”
Hati Janamejaya membara mendengar permohonan Uttangka. Di satu sisi, ia merasa terpanggil untuk menuntut balas atas kematian ayahnya. Di sisi lain, ia tahu bahwa melawan Naga Taksaka adalah tantangan besar yang akan melibatkan kekuatan supranatural. Sebagai raja yang bijak, Janamejaya tidak mengambil keputusan terburu-buru.
Mendengar penuturan Resi Uttangka, Raja Janamejaya memutuskan untuk mencari kebenaran cerita tersebut. Ia memanggil para tetua istana, patih, dan resi-resi lainnya untuk membahas kematian ayahandanya. Para patih yang hadir membenarkan kisah Uttangka, menceritakan bahwa Maharaja Parikesit tewas akibat racun yang disemburkan oleh Naga Taksaka. Salah seorang patih berkata, “Tuanku, Naga Taksaka memang dikenal sebagai makhluk yang berbahaya. Ia menyimpan dendam lama terhadap wangsa Bharata, dan kini ia telah membawa bencana bagi tahta Hastinapura.”
Janamejaya terdiam sejenak, menatap jauh ke arah singgasana ayahnya yang kini menjadi miliknya. Dalam hatinya, ia merasa marah dan terluka atas kehilangan itu. Namun, sebagai raja yang bijak, ia tidak ingin bertindak gegabah. “Jika ini benar,” ujarnya, “aku harus menuntut balas, bukan untuk dendam semata, melainkan untuk menegakkan keadilan. Biarkan seluruh alam mengetahui bahwa Hastinapura tidak akan membiarkan pelanggaran terhadap wangsa ini.”
Para menteri dan resi sepakat bahwa cara terbaik untuk menuntut keadilan adalah dengan mengadakan Sarpa Yajna, upacara pengorbanan ular. Upacara ini dirancang untuk memanggil seluruh naga ke altar pengorbanan, termasuk Naga Taksaka, agar mereka menerima hukuman atas perbuatan mereka. Janamejaya setuju dan segera memerintahkan persiapan.
Para pendeta terbaik diundang dari seluruh penjuru negeri. Altar besar dibangun di tengah lapangan suci, dengan api pengorbanan yang menyala terang. Pendeta utama memimpin doa dan mantra yang kuat untuk memanggil para naga dari seluruh penjuru dunia. Mantra-mantra itu bergema, menciptakan getaran yang memanggil ular-ular, yang tidak bisa menolak kekuatan upacara tersebut. Seekor demi seekor ular terbang ke arah altar, ditarik oleh kekuatan mantra, lalu jatuh ke dalam api pengorbanan.
Suasana menjadi mencekam. Para rakyat yang menonton upacara itu merasa ngeri melihat ular-ular besar melayang di udara, berdesis-desis memohon ampun, tetapi tetap terjatuh ke dalam kobaran api. Sang Raja, dengan hati yang teguh, mengamati jalannya upacara tanpa goyah, meskipun jeritan para naga menggema di sekelilingnya. Di tengah semua itu, para pendeta terus melantunkan mantra, berusaha memanggil Naga Taksaka, pemimpin para ular.
Namun, Naga Taksaka, yang mengetahui rencana ini, menjadi gelisah. Ia sadar bahwa kekuatannya tidak akan cukup untuk melawan mantra pengorbanan itu. Maka, ia memanggil Sang Astika, seorang bijak muda yang juga memiliki darah naga, untuk memohon belas kasihan Raja Janamejaya.
Sang Astika, dengan mengenakan jubah putih sederhana dan membawa tasbih suci, mendatangi lokasi upacara. Ia menyembah Sang Raja dan berbicara dengan suara lembut namun penuh wibawa. “Wahai Raja yang agung dan bijaksana, aku datang dengan satu permohonan. Taksaka memang bersalah, tetapi tidak semua naga harus menanggung dosa yang sama. Hentikanlah upacara ini, demi kasih sayangmu kepada makhluk hidup.”
Janamejaya yang awalnya tidak terpengaruh, mulai merasakan sesuatu yang berbeda saat mendengar kata-kata Sang Astika. Hatinya yang penuh belas kasih mulai tergugah. Ia memandang ke arah api pengorbanan, di mana banyak ular telah binasa, dan bertanya pada dirinya sendiri, Apakah ini cara yang benar untuk menegakkan keadilan?
Para menteri dan pendeta berbisik di sekelilingnya, mendesaknya untuk melanjutkan upacara. Namun, suara hati Janamejaya lebih kuat. Ia menatap Sang Astika dan berkata, “Aku merasakan ketulusan dalam kata-katamu. Jika aku terus melanjutkan upacara ini, aku tidak berbeda dengan Taksaka yang melukai ayahku tanpa belas kasihan. Demi kehormatan Hastinapura dan kedamaian alam semesta, aku akan menghentikan pengorbanan ini.”
Mendengar keputusan Raja, Sang Astika tersenyum penuh syukur. Ia bersujud di hadapan Janamejaya, berterima kasih atas kemurahan hatinya. “Wahai Raja yang agung, keputusanmu hari ini akan dikenang oleh dunia sebagai wujud kasih sayang seorang pemimpin. Aku akan kembali ke Nagaloka dan menyampaikan berita ini kepada Taksaka. Ia akan memahami kebesaran hatimu.”
Setelah Sang Astika pergi, Raja Janamejaya memerintahkan para pendeta untuk menutup upacara dengan doa perdamaian. Api pengorbanan dipadamkan, dan upacara berakhir dengan damai. Meski dendamnya belum sepenuhnya terbalaskan, Janamejaya merasa bahwa keputusannya adalah yang terbaik untuk menjaga harmoni alam semesta. Sebagai raja, ia memahami bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada penghancuran, melainkan pada pengampunan.
Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra. Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata.
Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa. (TB)