Masyarakat Hindu Bali memperingati Penampahan Galungan, sebuah hari suci yang dirayakan sehari sebelum Galungan, tepatnya pada Anggara Wage wuku Dunggulan.
Penampahan Galungan merupakan momentum penting dalam persiapan menyambut kemenangan Dharma (kebenaran) atas Adharma (kejahatan).
Dalam Lontar Sundarigama, hari ini diyakini sebagai saat di mana Bhuta Galungan — manifestasi kekuatan negatif — “menadah” atau mencari makan, sehingga umat Hindu dianjurkan melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di setiap desa.
Upacara ini dilakukan dengan mempersembahkan caru di catus pata (perempatan desa) dan pekarangan rumah, sebagai bentuk harmonisasi dengan kekuatan alam semesta.
Sajian upacara meliputi segehan warna-warni yang disesuaikan arah mata angin: putih di timur, merah di selatan, dan hitam di utara, masing-masing dilengkapi lauk babi dan tetabuhan (minuman persembahan).
Selain itu, segehan agung juga dipersembahkan di halaman rumah serta sanggah (tempat suci keluarga).
Pembersihan diri, baik secara fisik maupun spiritual, menjadi bagian utama pada hari ini.
Umat Hindu juga membuat banten seperti pabyakala, prayascita, dan sesayut sebagai sarana mohon keselamatan dan keberhasilan dalam menghadapi tantangan hidup, baik di alam nyata (sekala) maupun tak kasat mata (niskala).
Tak kalah penting, Penampahan Galungan juga menjadi hari di mana penjor — bambu hias simbol kemakmuran dan persembahan kepada Dewa — mulai dipasang.
Penjor ini melambangkan Bhatara Mahadewa yang diyakini berstana di Gunung Agung, gunung suci tertinggi di Bali.
Dengan segala rangkaian ini, Penampahan Galungan menjadi momen sakral yang mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan — fondasi utama kehidupan dalam ajaran Hindu Bali. (TB)