Makna Siwaratri dan Tata Cara Pelaksanaannya, Jagra Dilaksanakan 36 Jam

Author:
Share
Sumber Ilustrasi https://nowbali.co.id 
Muda-mudi
Bali belakangan begitu antusias menyambut hari raya Siwaratri yang dirayakan
pada purwanining atau sehari sebelum Tilem Kapitu. Mereka ramai-ramai datang ke
pura untuk melakukan persembahyangan, juga ada yang melakukan pakemitan dan
melakukan jagra atau tidak tidur seharian.
Saat
malam Siwaratri ini dipercaya sebagai malam yang paling gelap dan merupakan payogan
Dewa Siwa. Banyak orang yang mengatakan jika malam ini adalah malam peleburan
dosa. Benarkah? Lalu apa yang mesti umat lakukan untuk merayakannya?
Dalam
kakawin Siwaratri Kalpa karya Mpu Tan Akung dikisahkan tentang seorang pemburu
yang bernama Lubdaka. Saat berburu di tengah hutan ia tak menyadari jika hari
sudah malam. Saat malam perlahan menyelimuti seisi hutan, Lubdaka mulai
ketakutan.
Apalagi
di hutan banyak binatang buas, sehingga ia memutuskan untuk naik ke pohon bila
yang berada di atas sebuah kolam. Takut jika ia ketiduran dan jatuh, dirinya
pun memetik daun bila satu persatu untuk mengusir rasa kantuknya. Daun bila itu
jatuh dan menimpa lingga Dewa Siwa.
Saat
meninggal, karena ia berdosa telah membunuh binatang ketika berburu, atmanya
segera dibawa ke neraka. Namun saat yang sama datanglah Dewa Siwa dan ia dibawa
ke Siwa Loka. Karena itulah, kini banyak yang percaya jika merayakan Siwaratri,
maka segala dosanya akan teruwat.
Menurut
Wakil Ketua PHDI Bali, Pinandita Ketut Pasek Swastika, Siwaratri yang
dilaksanakan pada hakikatnya adalah Namasmaranam pada Nama Siwa, yang
artinya selalu mengingat dan memuja Siwa dalam upaya melenyapkan
segala kegelapan batin. Ia mengatakan, keutamaan Siwaratri ini diuraikan
dalam kitab-kitab Purana yaitu Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda
Purana dan Padma Purana.
Menurut
Swastika, ada tiga brata Siwaratri yang hendaknya dilaksanakan umat
berdasarkan purana itu yakni upawasa, mona brata dan jagra. Brata upwasa dan
monabrata ini dilaksanakan selama 24 jam mulai dari pukul 06.00 hingga pukul
06.00 keesokan harinya. Sementara untuk jagra dilaksanakan selama 36 jam yakni
hingga pukul 18.00 keesokan harinya.
Upawasa
yaitu tidak makan maupun minum. Indria dilatih untuk melepaskan kenikmatan
makanan berpantang terhadap makanan, melatih untuk tidak terikat dengan
kelezatan makanan sebagai bentuk melatih pengendalian indria-indria
duniawi. 
Selain
upawasa juga melakukan mona brata atau tidak berbicara. Mona brata ini bertujuan
melatih diri dalam hal bicara agar terbiasa bicara dengan penuh pengendalian
sehingga tidak keluar ucapan-ucapan yang tidak patut diucapkan. “Mona
adalah melatih pembicaraan pada diri sendiri dengan merenungkan kesucian. Mona
Brata biasa dilaksanakan secara total mulai pagi hari hingga sore hari,” katanya.
Dan
brata ketiga yakni jagra atau sadar, dimana umat selalu menjaga kesadaran
buddhi. Ia mengatakan, menjaga kesadaran yang dimaksudkan yakni agar
selalu mengarah pada Sang Pencipta. “Dalam upaya menjaga kesadaran inilah
mereka yang totalitas melaksanakan Brata Mahasiwaratri biasanya pada malam
harinya melakukan Japa Seribu Nama Siwa atau men-Japa-kan
nama-nama Siwa yang jumlahnya seribu,” katanya. 
Sementara
itu, dikutip dari babadbali.com saat Siwaratri umat Hindu melaksanakan kegiatan untuk penyucian diri, pembuatan
pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri yang
dilakukan dengan melaksanakan brata berupa upawasa, monabrata dan jagra. Siwaratri
juga disebut hari suci pajagran.
Disebutkan
bahwa brata dari Siwaratri yang utama yakni melaksanakan mona brata, upawasa,
dan jagra. Pada tingkatan madya yakni upawasa dan jagra, sedangkan untuk brata
yang nista yaitu hanya dengan melaksanakan jagra.
Adapun
tata cara pelaksanaan upacara Siwaratri yaitu Sang Sadhaka melaksanakan hal
yang sesuai dengan dharmaning kawikon, sedangkan jika walaka, didahului dengan
melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari. Urutannya yakni dengan
maprayascita, ngaturang banten pajati di Sanggar Surya, sembahyang kehadapan
leluhur, ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa di Sanggar Tutuan
atau Palinggih Padma atau pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah.
Setelah
sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh, dan terakhir masegeh di bawah
di hadapan Sanggar Surya serta ditutup dengan melaksanakan dana punia. Saat
pelaksanaan proses upacara tersebut, umat juga tetap melaksanakan upawasa, mona
brata, maupun jagra. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!