Pengerupukan merupakan salah satu tradisi penting yang masih lestari di Bali. Tradisi ini dilaksanakan sehari sebelum Hari Raya Nyepi dan bertujuan untuk mengusir Bhuta Kala, yakni kekuatan negatif atau roh jahat yang dipercaya dapat mengganggu ketenangan manusia dan alam.
Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala diartikan sebagai gabungan antara kekuatan alam semesta (Bhu) dan waktu (Kala). Ritual ini menjadi tahap awal sebelum memasuki Catur Brata Penyepian keesokan harinya.
Prosesi Pengerupukan diadakan pada sore hari, dengan umat Hindu berkeliling di halaman rumah sambil membawa obor yang terbuat dari janur kering.
Selain itu, mereka juga menaburkan nasi tawur dan memukul benda-benda untuk menghasilkan suara gaduh.
Aktivitas ini dipercaya mampu mengusir energi negatif yang berdiam di lingkungan rumah, pekarangan, maupun sekitar desa.
Keunikan Pengerupukan semakin terasa dengan hadirnya arak-arakan ogoh-ogoh, patung besar berwujud raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.
Ogoh-ogoh dirancang dengan bentuk yang menyeramkan, seperti mata melotot, taring tajam, dan tubuh kekar.
Pembuatan ogoh-ogoh ini tidak hanya berfungsi sebagai simbol pengusiran kejahatan, tetapi juga mencerminkan kreativitas seni masyarakat Bali yang dikenal penuh imajinasi dan keterampilan.
Saat malam Pengerupukan, desa-desa di Bali dipenuhi kemeriahan.
Ogoh-ogoh diarak keliling desa diiringi suara petasan, kulkul (kentongan), dan suara khas “keplug-keplugan” yang berasal dari ledakan karbit.
Bunyi menggelegar tersebut menciptakan suasana riuh yang diyakini mampu mengusir roh jahat dari desa.
Setelah selesai diarak, ogoh-ogoh biasanya dibakar. Pembakaran ini memiliki makna simbolis, yaitu pemusnahan kekuatan jahat dan pembersihan energi buruk dari bumi.
Api yang berkobar melambangkan kehancuran sifat-sifat negatif dan kembalinya keseimbangan dalam alam semesta.
Tradisi Pengerupukan tidak hanya menjadi momen ritual keagamaan, tetapi juga bagian penting dari pelestarian seni, budaya, dan nilai spiritual masyarakat Bali.
Dengan tetap menjalankan ritual ini, umat Hindu di Bali menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan menjelang perayaan suci Nyepi yang membawa ketenangan dan kedamaian. (TB)