Wuku Sinta menempati posisi istimewa dalam kalender Pawukon Bali. Ia adalah wuku pertama dari 30 wuku yang membentuk siklus 210 hari, dengan rentang Minggu Pahing hingga Sabtu Pon.
Sebagai awal dari siklus, Wuku Sinta kerap dimaknai sebagai gerbang perjalanan spiritual sekaligus penanda fase kehidupan baru. Dalam lontar maupun tradisi lisan, setiap wuku diyakini memiliki dewa pelindung, simbol alam, serta pengaruh tertentu terhadap watak kelahiran.
Menurut keyakinan masyarakat Bali, Wuku Sinta berada di bawah lindungan Batara Yama atau Yamadipati, dewa penguasa kematian sekaligus penjaga hukum kosmik. Kehadiran Batara Yama melambangkan pentingnya keseimbangan antara hidup dan mati, benar dan salah.
Dalam simbolisme wuku ini, muncul unsur kayu putih dan kendayakan yang dimaknai sebagai kesucian serta daya penyembuh, burung gagak yang melambangkan kewaspadaan, serta gedhong atau bangunan mewah yang menandakan kecenderungan untuk memamerkan harta.
Orang yang lahir dalam Wuku Sinta dipercaya memiliki watak keras kepala, mudah cemburu, dan cepat tersinggung, namun di sisi lain juga gagah, cekatan, serta berjiwa pelindung. Mereka digambarkan ambisius, gemar menunjukkan kemampuan, tetapi sekaligus dermawan kepada orang terdekat.
Dalam praktik umum, kelahiran Redite Sinta kerap diasosiasikan dengan pribadi cerdas, pandai bergaul, dan berwawasan luas. Sementara Redite Paing Sinta sering disebut sebagai sosok pemberani, kesatria, dan jujur, meski terkadang keras pendirian.
Dari sisi rezeki, Wuku Sinta diyakini membawa keberlimpahan. Banyak yang lahir dalam periode ini digambarkan sebagai pekerja tekun dengan cita-cita tinggi dan kemampuan menyelesaikan berbagai persoalan.
Namun, ada pula simbol “gedung terkunci” dan “lumbung kosong” yang menjadi pengingat bahwa kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Dalam tradisi Bali, mereka yang lahir pada Wuku Sinta dianjurkan menggelar upacara tertentu di usia paruh baya, sebagai penolak bala agar terhindar dari malapetaka sambekala.
Dengan segala simbol, watak, dan filosofi yang menyertainya, Wuku Sinta bukan sekadar penanda waktu, melainkan cermin perjalanan hidup manusia. Ia mengajarkan tentang ambisi dan pengendalian diri, tentang kekuatan dan kelembutan, serta tentang keseimbangan dalam menjalani kehidupan di bawah naungan hukum alam semesta. (TB)