![]() |
Pixabay.com |
Di tengah perguliran waktu, kalender Bali memiliki siklus tersendiri yang penuh dengan makna dan ajaran spiritual. Salah satu bulan yang dianggap memiliki energi khusus adalah Sasih Kawulu, bulan kedelapan dalam sistem penanggalan Bali. Dalam hitungan kalender Saka Bali, satu tahun terdiri dari dua belas bulan, masing-masing memiliki durasi sekitar 30–31 hari. Namun, Sasih Kawulu sedikit berbeda. Bulan ini hanya berlangsung sekitar 26 hingga 29 hari, membuatnya unik dibandingkan bulan lainnya.
Sasih Kawulu umumnya jatuh pada bulan Februari dalam kalender Masehi, sebuah masa di mana cuaca cenderung kurang bersahabat. Hujan deras dan angin kencang sering melanda, seolah menandakan adanya ketidakseimbangan alam.
Dalam Lontar Senggoro Bumi, diceritakan bahwa di Sasih Kawulu ini, Bhatara Parameswara melakukan mayoga atau semedi suci agar dunia tetap dalam keadaan tenteram. Sebab, pada masa ini, sering terjadi pertikaian di desa-desa, kondisi negara menjadi tidak stabil, dan banyak orang berpindah tempat tinggal karena keadaan yang tidak menentu. Oleh karena itu, masyarakat Bali meyakini bahwa bulan ini perlu diseimbangkan dengan berbagai upacara keagamaan.
Ketika Sasih Kawulu tiba, umat Hindu di Bali bergegas mempersiapkan upacara-upacara suci untuk menetralisir energi negatif yang mungkin muncul. Salah satu upacara yang paling utama adalah Piodalan Purnama Kawulu, yang dilakukan saat bulan purnama. Pada hari itu, umat Hindu berkumpul di pura untuk melakukan persembahyangan bersama, memohon perlindungan serta kesejahteraan bagi seluruh alam semesta.
Selain itu, ada pula Tawur Sasih Kawulu, sebuah ritual khusus yang bertujuan untuk menyeimbangkan energi alam dan menenangkan Bhuta Kala, makhluk tak kasat mata yang diyakini dapat membawa ketidakseimbangan jika tidak dikendalikan. Melalui berbagai macaru atau persembahan kepada roh-roh pengganggu, umat Hindu berharap dunia kembali harmonis.
Namun, salah satu upacara yang paling penting dalam Sasih Kawulu adalah Nangluk Mrana. Ritual ini dipercaya mampu menangkal berbagai jenis hama serta penyakit yang menyerang tanaman. Masyarakat Bali, terutama para petani, sangat mempercayai bahwa gangguan terhadap pertanian bukan hanya disebabkan oleh faktor alam, tetapi juga karena pengaruh energi negatif yang harus dinetralisir. Oleh karena itu, ritual ini dilakukan dengan penuh khidmat, sebagai wujud doa dan harapan agar panen tetap melimpah.
Salah satu kepercayaan yang cukup kuat dalam Sasih Kawulu adalah keyakinan bahwa pada Tilem atau bulan mati Sasih Kawulu, berbagai Bhuta Kala turun ke dunia. Di antara mereka, Bhuta Dasangka disebut sebagai makhluk yang paling kuat menggoda manusia. Mereka menciptakan berbagai ilusi, mengacaukan pikiran, dan menimbulkan kekacauan jika manusia tidak mampu menjaga ketenangan batinnya.
Karena itulah, pada masa ini, masyarakat Bali diajarkan untuk menyucikan pikiran dan memperbanyak meditasi serta persembahyangan. Dalam ajaran Hindu, dunia ini adalah sebuah keseimbangan antara rwa bhineda, yaitu baik dan buruk, terang dan gelap. Sasih Kawulu menjadi pengingat bahwa dalam hidup, selalu ada ujian yang harus dihadapi dengan kebijaksanaan dan ketenangan jiwa.
Sasih Kawulu bukan sekadar bulan dalam kalender Bali, tetapi sebuah pengingat bahwa harmoni kehidupan harus terus dijaga. Baik dalam lingkup pribadi, masyarakat, maupun hubungan manusia dengan alam semesta. Cuaca yang tak menentu, pertikaian yang mungkin muncul, serta ujian spiritual yang semakin kuat, semuanya menjadi bagian dari siklus kehidupan.
Melalui berbagai ritual suci, umat Hindu di Bali berusaha untuk menyelaraskan energi semesta, menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan para makhluk tak kasat mata. Sasih Kawulu mengajarkan bahwa meskipun dunia penuh dengan tantangan, selama manusia menjaga pikirannya tetap suci dan hatinya tetap teguh, keseimbangan akan selalu ditemukan. (TB)