![]() |
Ilustrasi |
Sri Kesari Warmadewa (882–914 M) merupakan raja pertama yang tercatat dalam sejarah Bali dan pendiri Dinasti Warmadewa, yang memainkan peran penting dalam perkembangan peradaban di pulau ini. Asal-usulnya masih menjadi perdebatan para sejarawan, namun beberapa sumber mengindikasikan bahwa ia mungkin memiliki hubungan dengan Kerajaan Sriwijaya, mengingat kesamaan nama dinasti, agama, dan cara penulisan prasasti.
Sebagian ahli menduga Sri Kesari Warmadewa adalah keturunan Balaputradewa, penguasa besar Sriwijaya. Hipotesis ini didukung oleh kesamaan mereka sebagai penganut Buddha Mahayana serta hubungan politik dan budaya antara Bali dan Sriwijaya pada masa itu.
Selain itu, gelar “Kesari” yang berarti “singa” dalam bahasa Sanskerta menunjukkan kemungkinan latar belakangnya sebagai seorang prajurit atau bangsawan yang gagah berani, yang dikirim untuk memperluas pengaruh Sriwijaya di Bali.
Sebagai raja, Sri Kesari Warmadewa memerintah dengan keadilan dan kebijaksanaan. Di bawah kepemimpinannya, Bali menjadi wilayah yang damai, makmur, dan stabil. Ia dikenal sebagai pemimpin religius yang sangat menghormati tradisi spiritual. Salah satu tempat suci yang diasosiasikan dengan beliau adalah “Pemerajan Selonding” di Gunung Agung, di mana ia sering melakukan pemujaan kepada para dewa.
Salah satu peninggalan penting dari era pemerintahannya adalah lonceng besar dari perunggu yang didatangkan dari Kamboja. Lonceng ini digunakan sebagai tanda bagi para biksu Buddha untuk serentak melakukan ibadah di biara masing-masing. Hingga kini, lonceng tersebut disimpan di Pura Penataran Sasih, Desa Pejeng, Gianyar, sebagai bukti sejarah kejayaan masa lalu.
Keberadaan Sri Kesari Warmadewa juga tercatat dalam sejumlah prasasti, seperti:
1. Prasasti Blanjong di Sanur, yang menyebutkan namanya sebagai seorang raja adhipati dan penakluk beberapa wilayah.
2. Prasasti Panempahan di Tampaksiring, yang memberikan informasi tentang sistem keagamaan dan kebijakan pemerintahannya.
3. Prasasti Malatgede, yang menguraikan kebijakannya dalam menjaga stabilitas dan kesejahteraan rakyat.
Prasasti-prasasti ini ditulis pada paro bulan gelap Phalguna tahun 835 Saka (sekitar Februari 913 M), menunjukkan bahwa Sri Kesari Warmadewa memerintah sebagai wakil kekuasaan Sriwijaya di Bali. Gelarnya sebagai “Raja Adhipati” memperkuat posisi Bali sebagai bagian dari jaringan kerajaan besar di Nusantara.
Sri Kesari Warmadewa juga dikenal atas kontribusinya dalam memperluas dan mempercantik Pura Besakih, yang pada masa itu masih sangat sederhana. Berkat upayanya, Pura Besakih berkembang menjadi kompleks pura megah yang hingga kini menjadi simbol spiritual dan budaya Bali.
Warisan Sri Kesari Warmadewa tidak hanya berupa prasasti dan peninggalan fisik, tetapi juga pengaruhnya terhadap perkembangan agama, seni, dan budaya di Bali. Sebagai pendiri Dinasti Warmadewa, ia membuka jalan bagi penerusnya untuk melanjutkan kemajuan di Pulau Dewata, menjadikannya salah satu tokoh penting dalam sejarah Nusantara. (TB)