Misteri Bulan yang Jatuh di Pejeng Gianyar, Dulu Bersinar Sepanjang Hari, Sudah Berusia 2000 Tahun

Author:
Share
Istimewa

Kita
sering mendengar istilah bulan di Pejeng yang konon jatuh dari langit. Hal ini
diceritakan dari mulut ke mulut dan ada yang mempercayainya.

Konon
bulan tersebut jatuh di Pejeng Gianyar Bali dan masih tersimpan hingga saat
ini. Dilansir dari situs kebudayaan.kemdikbud.go.id hal tersebut berdasarkan
cerita rakyat yang sangat populer di kalangan masyarakat luas.

Diceritakan
bahwa Bulan Pejeng ini adalah bulan yang  dahulu kala jatuh dari langit di
desa Pejeng, membuat desa ini menjadi terang-benderang siang dan malam,
sehingga para pencuri tidak mungkin dapat melakukan aksinya. 

Oleh
karena itu, maka bulan ini dikencinginya, sehingga  tidak lagi
bersinar  sampai sekarang. Adapun nama Pura Penataran Sasih ini, yang
berarti pura tempat bulan kemungkinan berkaitan erat sekali dengan cerita bulan
yang dahulu kala telah jatuh dari langit. 

Dimana
sebenarnya, bulan yang dimaksud ini adalah sebuah nekara. Selain itu, ada juga cerita
lain yang menuturkan, bahwa nekara Pejeng ini adalah subeng Kebo Iwa, seorang
tokoh legendaris yang sangat kuat dan sakti, sehingga dengan kukunya berhasil
mengukir Goa Gajah, candi tebing Gunung Kawi dan lain-lainnya.

Pertama
kalinya diperkenalkan kepada dunia internasional oleh G. E. Rumphius, seorang
ahli Ilmu Hayat melalui bukunya Amboinsche Rariteitkamer yang diterbitkan pada
tahun 1705.

Ia
yang tak pernah ke Bali berhasil memanfaatkan segala keterangan yang berasal
dari Hendrik Leydekerker’s, yang telah melihat dan mempelajari nekara tersebut.
Sejak itu, nekara Pejeng mulai mendapat perhatian dunia.

Selanjutnya,
pada tahun 1906  W. O. J. Nieuwenkamp, seorang seniman ternama datang ke
Bali dan membuat gambar detil  nekara. Hasilnya hingga sekarang masih
menjadi bahan rujukan dalam studi arkeologi prasejarah dan baru beberapa tahun
yang lalu dilakukan penggambaran ulang oleh Dinas Purbakala  Bali dan
Jakarta.     

Nekara
perunggu ini berasal dari jaman prasejarah, yaitu dari masa perundagian yang
berkembang kira-kira 2000 tahun  yang silam, atau kira-kira sekitar awal
Tarikh Masehi.

Warisan
budaya ini, adalah salah satu media pemujaan  yang sakral, sampai sekarang
masih tersimpan dengan baik di Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng, Gianyar.

Berdasarkan
hasil penelitian para ahli arkeologi diketahui jika nekara Pejeng adalah
sebuah nekara raksasa dengan segala ukuran yang serba besar, yaitu tinggi 
186,5 cm dan garis tengah bidang pukulnya 1,60 m.

Di
kalangan para ahli arkeologi, nekara ini disebut juga sebagai nekara dengan
kepala, karena mempunyai empat pasang hiasan kepala atau  kedok muka dengan
mata bulat melotot, hidung berbentuk kerucut memanjang dan telinganya panjang
memakai anting-anting dari mata uang.

Hiasan
kedok muka ini tidak semata-mata hanya berfungsi estetik-dekoratif, melainkan
lebih banyak berfungsi simbolik-magis, yaitu sebagai lambang atau simbol nenek
moyang yang mempunyai kekuatan gaib yang dapat melindungi arwah seseorang dalam
perjalanannya ke dunia akhirat.

Di
samping itu, dipercayai juga dapat memberikan perlindungan dan lesejahteraan
kepada kaum kerabat atau masyarakat yang masih hidup. kesejahteraan kepada kaum
kerabat atau masyarakat yang masih hidup.

Ada
juga hiasan lainnya yang mengandung makna simbolik-magis, ialah hiasan bulu
burung merak yang dipercayai sebagai simbol atau lambang kematian, dan
sekaligus juga sebagai pengantar arwah ke dunia akhirat, sedangkan hiasan
bintang adalah lambang kebesaran dunia atau alam semesta, sedangkan hiasan
tumpal diduga sebagai lambang kehidupan. (TB)

Video lengkapnya

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!