Nama Ni Ketut Reneng tercatat dalam sejarah sebagai salah satu maestro besar seni tari Bali. Lahir pada tahun 1909 di Banjar Kedaton, Denpasar, kisah hidupnya bukan hanya tentang panggung seni, tetapi juga keberanian seorang perempuan menolak takdir sebagai selir raja demi memilih jalan hidup yang penuh dedikasi terhadap budaya Bali.
Reneng lahir dari pasangan I Wayan Mintar dan Ni Wayan Sempok. Sayangnya, kedua orang tuanya meninggal saat ia masih kecil. Kehidupannya kemudian banyak dipengaruhi oleh keluarga besar dan lingkungan puri tempat ia dibesarkan.
Pada usia 11 tahun, ia diserahkan ke Puri untuk menjadi seorang jero. Di sana ia diajarkan menari, menenun, hingga membuat sirih. Namun, di balik itu, sang permaisuri rupanya telah merencanakan agar Reneng kelak dijadikan selir raja setelah ia beranjak dewasa.
Ketika berusia sekitar 13 tahun, Reneng mendengar kisah tragis dari lontar dan pengalaman para selir sebelumnya—mulai dari dibuang hingga dipisahkan dari anak mereka. Dari sinilah ia memutuskan untuk melawan takdir. Dengan bantuan pamannya, Pekak Cenong, yang bekerja di istana, Reneng akhirnya berhasil melarikan diri.
Keputusan itu menjadi titik balik dalam hidupnya. Seandainya ia tetap tinggal di puri, mungkin bakat besarnya dalam seni tari tak pernah muncul ke permukaan.
Sejak kecil, Reneng sudah menunjukkan bakat luar biasa dalam menari. Ia belajar dari maestro-maestro besar seperti A.A. Ngurah Jambe, Salit Rengis, Nyarikan Sriada, hingga Ida Bagus Bodha dari Kaliungu Kelod dan A.A. Rai Perit dari Sukawati.
Pada usia muda, ia sudah menguasai berbagai tarian klasik palegongan, di antaranya Tari Condong Pelayon, Legong Lasem, Kuntul, Jobog, Goak Macok, hingga Legod Bawa.
Pada tahun 1919, ia turut membesarkan Kelompok Legong Keraton, dan hampir satu dekade kemudian mendirikan kelompok Tari Janger di Banjar Kedaton (1928). Setahun berselang, ia bahkan sudah tampil di Batavia (Jakarta).
Salah satu warisan terbesarnya adalah ketika bersama maestro tari I Wayan Rindi, Reneng menggagas Tari Pendet. Tarian ini lahir dari pakem Pendet Wali, sebuah tari sakral, yang kemudian dikembangkan menjadi pertunjukan seni. Kini, Tari Pendet dikenal luas sebagai salah satu identitas budaya Bali.
Selain Tari Pendet, Reneng juga menciptakan sejumlah karya lain, seperti Tari Pendet Astuti, Tari Tenun, Tari Tani, Rejang Dewo, dan memperkaya perkembangan Tari Janger.
Tidak hanya menari, Reneng juga pernah menjadi model pelukis Belgia, Adrien-Jean Le Mayeur, bersama sahabatnya Ni Pollok. Ia juga dipercaya menjadi guru tari atas permintaan sastrawan besar Sutan Takdir Alisyahbana, bahkan ikut bergabung dalam Balai Seni Toyabungkah sejak 1976.
Sepanjang hidupnya, ia mengajar di berbagai tempat: Denpasar, Klungkung, Tabanan, hingga institusi pendidikan seni seperti ASTI Bali (kini ISI Denpasar).
Pengabdiannya dalam menjaga tradisi tari Bali membuat Reneng menerima Penghargaan Seni dari Presiden Soeharto pada 17 Agustus 1979. Ia juga beberapa kali diutus dalam misi kesenian ke luar negeri, termasuk ke Sri Lanka pada 1952, serta terlibat dalam pembuatan film Jayaprana (1955).
Kehidupan Ni Ketut Reneng adalah simbol perlawanan seorang perempuan terhadap tradisi feodal yang mengekang. Di masa ketika perempuan sulit menentukan nasibnya sendiri, Reneng memilih jalan berbeda: mengabdikan hidupnya untuk kesenian.
Bahkan pada usia 75 tahun, ia masih mampu menari dengan gerakan penuh vitalitas, seakan menghidupkan kembali gadis belia di panggung pertunjukan.
Ni Ketut Reneng bukan hanya maestro tari Bali, tetapi juga “museum berjalan” yang menyimpan sejarah pemberontakan perempuan dan keteguhan menjaga warisan budaya Nusantara. (TB)