Dari balik tutur lembut dan senyum hangatnya, terpancar keyakinan bahwa nilai Dharma bisa disampaikan dengan ketulusan. Itulah kesan yang ditinggalkan Ni Luh Putu Linda Jessica Maharani, duta dari Kabupaten Badung yang berhasil merebut Juara I Lomba Dharmawacana Remaja Putri Berbahasa Bali dalam ajang Utsawa Dharma Gita (UDG) ke-XXXII Provinsi Bali Tahun 2025 di Taman Budaya Bali, Senin (27/10/2025).
Bagi Putu Linda, kemenangan ini bukan sekadar prestasi. Lebih dari itu, ia ingin menunjukkan bahwa berdharmawacana bukan hal yang kuno — melainkan cara modern untuk menghidupkan nilai budaya dan spiritual di tengah generasi muda Bali.
“Saya ingin Dharma bisa dirasakan anak muda, bukan hanya didengar. Karena lewat suara, kita bisa menyalurkan pesan kebaikan,” ujar Putu Linda dengan nada tenang namun penuh keyakinan.
Lahir di Kerobokan, Badung, 3 Juni 2007, dari pasangan Ketut Pasek Winata dan Ni Wayan Winarsi, Putu Linda tumbuh dalam lingkungan yang menghargai budaya dan pendidikan. Namun, siapa sangka gadis berusia 18 tahun yang kini menempuh studi di Jurusan Administrasi Publik, Universitas Udayana itu dulu sempat minder berbicara di depan umum.
“Dulu saya bukan tipe orang yang suka tampil. Tapi ketika melihat orang berdharmawacana, saya merasa damai. Mereka menyampaikan pesan yang menyejukkan. Dari situ saya tahu, saya ingin menjadi bagian dari itu,” kenangnya.
Ketertarikannya terhadap Dharmawacana muncul sejak duduk di bangku SMA. Dari ajang Porseni Dharmawacana Kabupaten Badung, Linda sukses meraih juara pertama dan mendapat kesempatan mewakili daerahnya di tingkat provinsi. Momen itu menjadi awal perjalanan spiritual sekaligus akademis yang mempertemukannya dengan panggilan hati.
Bagi Linda, Dharmawacana bukan hanya ajang budaya, melainkan ruang pembelajaran hidup. Kegiatan ini melatihnya berpikir kritis, berkomunikasi dengan hati, dan membangun rasa empati — kualitas yang juga penting dalam dunia administrasi publik yang kini ia dalami di kampus.
“Pemerintahan yang baik dimulai dari komunikasi yang baik. Di Dharmawacana, saya belajar bicara dengan makna, bukan hanya dengan kata,” ujarnya.
Persiapannya menuju UDG XXXII pun dilakukan dengan kedisiplinan tinggi. Setiap hari, ia membagi waktu antara kuliah, latihan intonasi, dan hafalan naskah. Ia juga menjaga kualitas suaranya dengan menghindari makanan manis dan minuman dingin. “Hasil hari ini adalah buah dari latihan kemarin,” ucapnya mantap.
Meski hidup di era digital yang serba cepat, Putu Linda tetap memegang erat akar budaya Bali. Ia melihat Dharmawacana sebagai media penting untuk menjaga identitas lokal di tengah gempuran globalisasi.
“Anak muda sekarang banyak yang lupa pada akar budaya. Lewat Dharmawacana, saya ingin mengingatkan bahwa modernitas dan tradisi bisa berjalan bersama,” katanya penuh semangat.
Teman-temannya di kampus justru memberikan dukungan penuh. “Mereka bilang keren, masih mau tampil bawain Dharma di zaman sekarang. Walau belum semua tertarik ikut, tapi mereka menghargai,” ceritanya sambil tersenyum.
Dengan kemenangan ini, Ni Luh Putu Linda Jessica Maharani bukan hanya membawa nama harum Kabupaten Badung, tapi juga menjadi inspirasi bagi remaja Bali lainnya untuk mencintai budaya sendiri. Ia membuktikan bahwa Dharma bisa dihidupkan kembali dengan cara yang sederhana — melalui kata, suara, dan ketulusan hati.
“Yang penting bukan seberapa keras kita berbicara, tapi seberapa dalam makna yang bisa kita sampaikan,” ujarnya menutup wawancara, sambil tersenyum lembut di bawah sinar sore Taman Budaya Bali. (TB)

