Omed-omedan, merupakan tradisi unik yang diadakan oleh masyarakat Banjar Kaja di Desa Adat Sesetan, Denpasar Selatan, Bali.
Upacara ini berlangsung setiap tahun setelah Hari Raya Nyepi, tepatnya pada hari Ngembak Geni, yang menandai berakhirnya masa hening dan dimulainya aktivitas baru dalam kalender Saka.
Tradisi ini tidak hanya menarik perhatian masyarakat lokal, tetapi juga wisatawan yang ingin menyaksikan keunikan budaya Bali.
Dalam bahasa Bali, omed-omedan berarti “tarik-tarikan.” Tradisi ini diyakini telah berlangsung sejak abad ke-17 dan memiliki tujuan untuk mempererat hubungan sosial antarwarga serta menjaga keharmonisan dan solidaritas di komunitas tersebut.
Selain itu, omed-omedan juga sering menjadi ajang bertemunya pasangan muda, sehingga tidak jarang kisah cinta bermula dari tradisi ini.
Menurut legenda, tradisi ini bermula dari masa Kerajaan Puri Oka. Setelah Hari Nyepi, masyarakat di kerajaan tersebut mengadakan permainan tarik-menarik antara pemuda dan pemudi.
Suatu ketika, Raja Ida Bhatara Kompiang yang sedang sakit merasa terganggu oleh keramaian ini. Ketika ia keluar untuk menghentikan permainan, penyakitnya justru sembuh.
Sejak saat itu, tradisi omed-omedan dijalankan setiap tahun sebagai wujud syukur dan harapan akan berkah serta kesehatan.
Tradisi omed-omedan pernah menghadapi berbagai tantangan, termasuk larangan pada masa penjajahan Belanda. Namun, masyarakat tetap mempertahankan tradisi ini sebagai bagian dari warisan budaya mereka.
Pada tahun 1984, tradisi ini hampir dihentikan akibat protes terkait adegan ciuman yang terjadi selama prosesi. Namun, sebuah kejadian misterius membuat tradisi ini kembali dihidupkan.
Kala itu, dua ekor babi jantan dan betina tiba-tiba bertarung hebat di tengah desa. Peristiwa ini dianggap sebagai pertanda buruk, sehingga warga memutuskan untuk melanjutkan tradisi omed-omedan demi menjaga keharmonisan desa.
Seiring waktu, tradisi ini terus berkembang. Pada tahun 1990-an, penyelenggaraan acara mulai dipegang oleh Sekaa Teruna Teruni (STT), kelompok pemuda-pemudi desa.
Di era 2000-an, nama tradisi ini resmi menjadi Omed-Omedan dan mulai dipromosikan sebagai bagian dari festival budaya bernama Sesetan Heritage Omed-Omedan Festival yang dimulai pada tahun 2009.
Tradisi omed-omedan diikuti oleh pemuda-pemudi berusia 17 hingga 30 tahun. Peserta terdiri dari sekitar 40 pria dan 60 wanita.
Prosesi dimulai dengan sembahyang bersama di pura desa, dipimpin oleh jero pemangku. Setelah itu, pemuka adat menyiramkan tirta amerta (air suci) dan memberikan bija (beras yang diberkati) kepada para peserta sebagai simbol perlindungan dan berkah dari Sang Hyang Widhi.
Selanjutnya, peserta dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pria (teruna) dan wanita (teruni). Kedua kelompok ini berhadapan di jalan utama desa dan, setelah aba-aba dari sesepuh desa, mereka mulai tarik-menarik.
Prosesi berlangsung meriah, diiringi tawa dan sorak-sorai penonton. Sering kali peserta akan saling berpelukan atau berciuman, yang menjadi daya tarik utama bagi para pengunjung.
Untuk mencegah suasana memanas, pecalang (petugas keamanan adat) bertugas menyiramkan air kepada peserta untuk meredakan suasana. Tradisi ini berlangsung hingga semua peserta mendapat giliran atau hingga pukul 17.00 waktu setempat.
Omed-omedan bukan sekadar tradisi tarik-tarikan biasa. Ia menjadi simbol penting akan keharmonisan, kebersamaan, dan keberanian warga Sesetan untuk mempertahankan budaya leluhur.
Tradisi ini juga menarik perhatian wisatawan dari berbagai negara yang ingin menyaksikan langsung keunikan budaya Bali.
Melalui festival ini, Desa Adat Sesetan berhasil melestarikan warisan leluhur sekaligus memperkuat daya tarik pariwisata lokal. Omed-omedan kini bukan hanya milik masyarakat Bali, tetapi juga menjadi warisan budaya yang dikenal di tingkat nasional dan internasional. (TB)
Sumber Foto: denpasarkota.go.id