Seorang
pemangku di Denpasar, Bali ini tak seperti pemangku pada umumnya. Meskipun ia
adalah seorang perempuan, namun menggunakan pakaian layaknya laki-laki.
Pemangku itu
bernama Jero Mangku Wayan Sudarmi yang saat menjalankan aktivitas
kepemangkuannya menggunakan pakaian laki-laki. Ia menggunakan pakaian serba
putih, tapi bukan kebaya.
Jero Sudarmi
menggunakan udeng pemangku, baju koko, kamben berisi lancingan dan juga saput
seperti pemangku laki-laki pada umumnya. Memang ia telah menggunakan pakaian
tersebut sejak pertama kali menjadi pemangku.
Jero Mangku
Sudarmi sudah menjadi pemangku sejak tahun 2002. Ia menjadi pemangku di merajan
ageng keluarga besarnya di Banjar Beraban, Denpasar Bali.
Perempuan
yang lahir tahun 1967 ini mengaku ada suatu kisah yang mendasari kenapa ia
menggunakan pakaian layaknya pemangku pria. Tahun 2002, Jero Sudarmi bermimpi
naik meru.
Ketika
terbangun, ia bertanya-tanya terkait dengan mimpi itu. Atas rasa ingin tahunya
yang dalam, ia pun bertanya kepada almarhum suaminya yang saat itu sudah jadi
pemangku.
Namun, saat
itu suaminya juga tidak tahu makna dari mimpinya tersebut. “Sebelum ngiring
dapat mimpi naik meru sampai ujungnya, saya bertanya-tanya. Suami saya tidak
tahu artinya, beberapa orang yang saya tanya tidak tahu juga,” katanya.
Setelah kejadian
tersebut ia pun mendapat bisikan untuk ngiring menjadi pemangku. Namun ia diminta
agar menggunakan pakaian layaknya pakaian pemangku laki-laki.
Ia pun
sempat menolak, karena memang dirinya adalah perempuan. Namun karena terus
diminta, ia pun ngiring menjadi pemangku dengan pakaian laki-laki.
Sejak
menjadi pemangku tersebut, saat keluar rumah ia akan menggunakan kamben.
Begitupun saat berjualan ayam hidup di Pasar Kumbasari Denpasar.
Pernah pada
suatu ketika dirinya ke luar menggunakan celana. Namun saat malamnya ia
mendengar bisikan dan dimarahi. Sejak saat itu dirinya pun tak berani melakukan
hal itu lagi. Sehingga setiap ke luar rumah selalu menggunakan pakaian adat
madya yakni dengan kamben.
Sebelum
bermimpi naik meru, ia tak pernah memiliki firasat akan menjadi seorang
pemangku. Namun sejak sebelum menikah ia memang suka semabahyang dan tirta
yatra.
Meskipun
saat menjadi pemangku harus menggunakan pakaian laki-laki, ia tak merasa risih.
Bahkan ia mengaku senang-senang saja dan tetap merasa seperti perempuan.
Namun,
sering juga menurutnya ada yang bertanya sebenarnya ia laki-laki atau
perempuan. “Tapi tidak bertanya langsung ke saya, nanya ke yang lain. Ya dikasi
tau kalau saya perempuan,” katanya.
Selama
menjadi pemangku, ia juga tak pernah mengalami kejadian mistis. Namun ia
mengaku langsung bisa memakai udeng seperti pemangku laki-laki meskipun tidak
pernah belajar.
“Sampai-sampai
almarhum suami saya heran kenapa saya bisa pakai udeng, padahal dia tidak bisa,”
akunya.
Ia sempat
diminta untuk menjadi seorang balian, namun dirinya tidak mau. Bahkan diminta
untuk muput upacara di luar pun tidak mau. Ia hanya melakukan kewajibannya
sebagai pemangku di merajan saja.
“Walaupun
pemangku lain bilang ke saya sudah boleh muput di luar, tapi tetap saya tidak
mau. Saya hanya muput di merajan saja,” sambungnya.
Perempuan
yang sejak kecil menjadi pedagang ini berasal dari Banjar Kaja, Angantiga,
Manggis Karangasem. Namun sejak kecil sudah tinggal di Denpasar. Dan akhirnya
ia juga menikah dengan laki-laki di Denpasar.
Selain itu,
Jero Sudarmi mengaku sangat mudah mengalami kerauhan. Ada sedikit saja pasti
kerauhan. “Kerauhan cepat, tidak bisa mengendalikan, di beji, di pasar pasti,”
tandasnya. (TB)