Pembagian Warisan serta Hak dan Kewajiban Ahli Waris di Bali

Author:
Share
Sumber Foto; pixabay.com

Warisan
sebagaimana umumnya akan diberikan oleh pemilik warisan atau pewaris kepada
ahli waris, dimana prosesnya disebut dengan pewarisan. Dalam kenyataannya,
pembagian warisan ini sering menimbulkan masalah atau konflik. Bahkan ada yang
berujung hingga ke pengadilan karena menganggap tidak adanya asas keadilan
dalam pembagian warisan tersebut. Hal ini juga termasuk terjadi di Bali.
Bagaimanakah sebenarnya pembagian warisan tersebut? Apa hak dan kewajiban ahli waris?
Guru
Besar Hukum Adat Bali Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. Wayan P.
Windia dalam Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat Bali yang disajikan pada
Kuliah Umum di Fakultas Hukum Unipas, Jakarta, 21 Mei 2017 mengatakan, pewarisan
ini memiliki empat unsur yakni pewaris atau orang yang meninggalkan warisan,
waris atau keturunan, ahli waris atau keturunan yang memiliki hak atas warisan,
serta warisan yang artinya sama dengan swadharma (tanggung jawab) dan swadikara
(hak) terhadap peninggalan pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya.
Warisan
dalam kehidupan masyarakat Bali ada tiga bentuk yakni warisan parhyangan yang
berhubungan dengan keyakinan sebagai umat Hindu, warisan pawongan yang berhubungan
dengan aktivitas sosial sebagai umat Hindu, serta warisan palemahan yang berhubungan
dengan tata kelola lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu. “Pewarisan
menurut hukum adat Bali tidak identik dengan membagi harta peninggalan
(warisan) orang tua dan leluhur (pewaris) oleh ahli waris, melainkan mengandung
makna pelestarian, pengurusan dan penerusan swadharma (tanggung jawab) dan
swadikara (hak) terhadap peninggalan pewaris dalam berbagai wujud dan
sifatnya,” tulis Windia.
Ketua
PHDI Bali, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana dalam pemaparannya yang berjudul Hak
dan Kewajiban Ahli Waris Menurut Hukum Hindu dalam Hukum Adat Bali
yang
disampaikan dalam Pasamuhan Madya ke-IV PHDI Bali, Selasa, 10 September 2019
mengatakan, anak yang berhak mewaris menurut hukum Hindu dalam hukum adat Bali
adalah anak sendiri (Aurasa) atau lahir dari perkawinan yang sah. Sedangkan
anak yang tidak sah seperti anak lahir di luar perkawinan dan anak astra
(perkawinan tidak sederajat) tidak memiliki hak untuk mewaris.
Di
dalam praktek hukum Hindu yang masih berlaku di Bali, menurut Sudiana ada
beberapa hal yang menyebabkan seseorang kehilangan haknya sebagai ahli waris,
yaitu sebagai berikut.
1.
Ahli waris pindah agama, sehingga ia tak lagi berhubungan dengan sanggah
kemulan, banjar, desa dan kahyangan tiga.
2.
Anak laki-laki yang kawin nyeburin atau nyentana.
3.
Anak yang durhaka atau kapita.
4.
Durhaka terhadap leluhur.
5.
Durhaka terhadap orang tua.
6.
Anaknya diangkat orang lain.
Terkait
ahli waris yang pindah agama, dalam putusan peradilan zaman kerta disebutkan,
orang yang pindah agama tak mau lagi patuh terhadap leluhurnya dan tidak mau
membiayai beban-beban keagamaan yang ada hubungannya dengan pewaris. Hal ini
dikuatkan oleh putusan peradilan kerta Denpasar tanggal 3 Agustus 1933, putusan
peradilan kerta 21 Februari 1938, putusan peradilan kerta Tabanan tanggal 18
Juli 1939, putusan peradilan kerta Cakranegara tanggal 3 Oktober 1947 yang
memutuskan ahli waris yang beralih agama tidak mewaris.
Adapun
hak dari ahli waris menurut Sudiana meliputi mendapatkan warisan, dipelihara,
diberikan pendidikan, serta mendapatkan perlindungan. Sedangkan kewajibannya
yakni melakukan upacara pitra yadnya, melunasi hutang si pewaris,
menyelenggarakan upacara dewa yadnya di kemulan, serta menggantikan kewajiban
orang tua di desa adat.
Selanjutnya, Ni
Nengah Budawati, dkk. dalam Buku saku Seri Adat Bali Payung Hukum Adat untuk
Keluarga Bali
yang diterbitkan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi untuk Keadilan
(LBH APIK) Bali dan Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara (KIAS)
menuliskan anak laki-laki yang statusnya purusa dapat seluruh harta pusaka yang
diwarisi secara turun-temurun. Ini dikarenakan anak laki-laki memiliki
kewajiban untuk memelihara tempat sembahyang keluarga, mengurus upacara untuk
leluhur, maupun kewajiban adat bersama istrinya.
Selain
itu, anak laki-laki juga mengelola sepertiga harta bersama atau harta guna kaya
orang tuanya untuk menjalankan semua kewajibannya. “Bagian warisan ini disebut
due tengah. Anak perempuan dan anak laki-laki yang tidak menjalankan kewajiban
itu, tidak berhak atas bagian due tengah ini,” tulisnya.
Pasamuan
Agung MUDP ke-III menetapkan, perempuan yang tidak pernah menikah dan yang
berstatus cerai dan pulang ke rumah asal memiliki hak yang sama dengan saudara
laki-laki atas harta guna kaya orang tua. Ketentuannya yakni, dari harta guna
kaya orang tua diambil sepertiga yang diberikan kepada anak laki-laki kapurusa
yang melanjutkan kewajiban orang tua (swadharma atau nguwubang).
Sisanya
atau dua pertiga harta guna kaya orang tua dibagi antara anak laki-laki dan
anak perempuan, tetapi bagian anak perempuan separuh bagian anak laki-laki. “Perempuan
juga punya kewajiban terhadap orang tua, misalnya ikut mengurus mereka pada
hari tua,” tulisnya.
Sementara
terkait ahli waris yang pindah agama, mereka dianggap sudah ninggal kedaton
penuh sehingga kehilangan hak mewaris. Namun, dalam keputusan MUDP dikatakan
orang tua boleh memberikan anak yang ninggal kedaton penuh bekal dari dua
pertiga harta guna kaya. Bekal itu disebut jiwa dana. Syarat pemberian jiwa
dana tidak boleh merugikan ahli waris yang meneruskan kewajiban adat dan agama
orang tua.
Terkait
dengan pengangkatan anak laki-laki, menurut hukum adat Bali dilakukan dengan
upacara meperas. Nantinya anak angkat yang sudah diperas memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan anak kandung. (TB)

       

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!