Sebulan pasca banjir besar yang melanda Kota Denpasar, Pemerintah Kota Denpasar menggelar upacara suci Pecaruan Panca Kelud, Yamaraja Wraspati Kalpa Agung sebagai wujud pemulihan keseimbangan alam dan harmoni jagat. Upacara dilaksanakan secara khidmat di kawasan Pasar Badung, Kamis (30/10), dan dipuput oleh Sulinggih Tri Sadaka.
Upacara ini menjadi bagian dari rangkaian ritual penyucian wilayah yang dilanjutkan dengan Ngaturang Pakelem di Muara Tukad Badung. Sejak pagi, area Pasar Badung dipenuhi wewangian dupa dan kidung suci. Tari Rejang Dewa dan Topeng Wali turut mewarnai suasana sakral yang dihadiri oleh ratusan umat, termasuk unsur Forkopimda Kota Denpasar, PHDI, Sabha Upadesa, dan berbagai pimpinan OPD.
Kabag Kesra Setda Kota Denpasar, Ida Bagus Alit Surya Antara, menjelaskan bahwa pelaksanaan karya besar ini merupakan hasil dari pawisik (petunjuk spiritual) yang diterima setelah dilakukannya mepinunas (permohonan petunjuk) kepada sulinggih dan pemuka adat.
“Dari hasil pawisik, kami diminta untuk melaksanakan Panca Kelud, Yamaraja, Pati Kalpa, dan Mulang Pakelem sebagai bentuk pemulihan energi alam setelah bencana banjir yang terjadi 10 September lalu. Tujuannya memohon maaf dan mengembalikan keharmonisan jagat Denpasar,” ujarnya.
Sementara itu, Wali Kota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara menegaskan bahwa pelaksanaan karya ini tidak hanya bermakna spiritual, tetapi juga merupakan simbol sinergi antara upaya niskala dan sekala dalam menghadapi bencana.
“Upacara ini adalah bentuk permohonan maaf kepada alam dan upaya menjaga keseimbangan. Namun kami juga terus melakukan langkah nyata seperti normalisasi sungai, penanaman sempadan, pemasangan sistem peringatan dini, dan penataan bantaran sungai,” jelasnya.
Ia menambahkan, kolaborasi antara doa, budaya, dan tindakan nyata di lapangan menjadi pondasi penting agar Kota Denpasar tetap aman, bersih, dan berkelanjutan.
“Harapannya, dengan kesadaran kolektif dan tindakan berkelanjutan, Denpasar senantiasa diberkahi ketenangan, jauh dari bencana, dan tetap harmonis dengan alam,” tutup Jaya Negara.
Upacara yang berlangsung khusyuk tersebut menjadi simbol kearifan lokal masyarakat Bali dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta — sebuah wujud nyata dari filosofi Tri Hita Karana yang terus dijaga di tengah modernitas kota. (TB)

