PHDI Tegaskan Gelar Sulinggih Tidak Boleh Dipermainkan: Isu Kasulinggihan Komang Widiantari Asal Bangli Jadi Sorotan

Author:
Share

Publik kini ramai memperbincangkan status sulinggih asal Bangli Komang Widiantari, yang dikenal dengan gelar Ida Pandhita Mpu Budha Maharesi Alit Parama Daksa. Hal ini muncul setelah Widiantari dilaporkan telah menjalani prosesi ngelukar gelung, yang berarti melepaskan gelar sulinggih, dan kemudian kabarnya menikah.

Menanggapi isu ini, Jero Mangku I Kadek Haryanta S.Sos. H.M. Fill H., pengurus PHDI Provinsi Bali Bidang Agama, menyatakan kekecewaannya. Ia menilai bahwa kejadian ini mencoreng tatanan atau sesana seorang sulinggih. “Kami belum menemukan literatur yang mendukung tindakan tersebut. Memang benar bahwa siapa pun bisa menjadi sulinggih setelah mengikuti proses yang sesuai dengan aturan agama dan negara. Namun, secara sosial, penggunaan gelar ini tidak sepatutnya dipermainkan,” jelasnya dalam wawancara pada Jumat, 12 Juli 2024.

Bersama pengurus PHDI Bali, Haryanta berusaha mengumpulkan informasi yang akurat mengenai fenomena ini. Menurutnya, PHDI berperan sebagai pelaksana keputusan dari nabe dan sisya, di mana tanggung jawab utama tetap berada pada nabe yang memberikan gelar sulinggih.

Haryanta juga menekankan pentingnya memberikan penjelasan kepada umat mengenai aturan dan literatur terkait kesulinggihan. Fenomena ini, katanya, telah menarik perhatian tidak hanya umat Hindu, tetapi juga masyarakat luas. “Kami tidak melarang siapa pun untuk menjadi sulinggih karena ini adalah jalan bhakti yang mulia. Namun, etika sosial harus tetap dijaga agar niat baik dalam menjadi sulinggih tidak disalahartikan,” ujarnya yang akrab dipanggil Jero Mangku Maospait.

Ia menjelaskan bahwa beberapa lontar seperti Bongkol Pangesrayan, Purba Somia, dan Tutur Wiksu Pungu memuat aturan dan etika tentang seorang wiku. Beredar juga informasi bahwa Widiantari kembali berstatus sebagai sulinggih, namun hanya melakukan prosesi penyembuhan dengan yoga dan melukat, tanpa mengemban fungsi Loka Parasyara yang lebih luas sebagai sandaran umat.

Haryanta menegaskan bahwa Loka Parasyara merupakan bagian integral dari peran sulinggih dalam membimbing umat secara spiritual, termasuk lintas agama. “Loka Parasyara tidak bisa dipisahkan dari fungsi sulinggih sebagai pembimbing spiritual dan sandaran umat,” ungkapnya.

Menurutnya, dalam konteks Jero Mangku pun, etika harus selalu dijaga, terutama dalam perilaku. Dalam beberapa sastra Hindu, kesucian seseorang tidak diukur dari upacara besar atau gelar tinggi, melainkan dari perilaku dan komitmen spiritualnya.

Dengan adanya isu ini, Haryanta mengajak umat Hindu di Bali untuk bersama-sama menjaga dan menerapkan tradisi yang telah ada secara turun-temurun. “PHDI tidak dapat berjalan sendiri. Kami memerlukan peran serta umat dalam mengawasi fenomena terkait agama dan isinya,” pungkasnya. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!