Tiga organisasi pemerhati lingkungan, KEKAL Bali, FRONTIER Bali, dan WALHI Bali, kembali menyoroti dampak investasi PT Bali Turtle Island Development (BTID) terhadap masyarakat Pulau Serangan, Denpasar. Dalam konferensi pers yang digelar di Kubu Kopi, Denpasar, Selasa, 4 Februari 2025, mereka mengungkap fakta mengejutkan terkait penguasaan lahan dan perairan oleh perusahaan tersebut, serta mempertanyakan keadilan dalam perlindungan kawasan Mangrove Tahura Ngurah Rai.
I Kadek Angga Krisna Dwipayana dari KEKAL Bali dan Direktur WALHI Bali, Made Krisna Bokis Dinata, memaparkan bahwa reklamasi yang dilakukan PT BTID sejak tahun 1990-an telah berdampak drastis pada kehidupan masyarakat Serangan. Berdasarkan penelitian Parwata dkk. (2015), luas pemukiman yang semula 111 hektar kini hanya tersisa 46,5 hektar. Selain itu, masyarakat hanya dapat mengakses 2,5 km dari total garis pantai 20 km, sementara 17,5 km dikuasai oleh PT BTID.
“Kami melihat ini sebagai bentuk invasi satu perusahaan yang mengorbankan ruang hidup masyarakat demi kepentingan pariwisata,” ujar Krisna Bokis.
Tidak hanya itu, kanal wisata sepanjang lebih dari 1,5 km yang dibangun pasca reklamasi juga disebut semakin memperparah keadaan. Kanal ini diklaim telah membelah wilayah Serangan dan mengisolasi masyarakat dari lahan yang sebelumnya mereka manfaatkan.
Selain reklamasi, PT BTID juga mengajukan permohonan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) sejak September 2023. WALHI Bali menduga langkah ini merupakan upaya pemblokiran perairan Serangan, yang berpotensi mempersempit ruang gerak nelayan dan mengurangi akses publik ke laut.
“Kami curiga ini adalah bentuk penguasaan laut oleh PT BTID untuk kepentingan eksklusif mereka,” kata Krisna Bokis.
Terkait pemasangan pelampung di perairan, PT BTID berdalih bahwa langkah tersebut dilakukan untuk mengatasi dugaan penyelundupan BBM ilegal. Namun, Krisna Bokis menilai alasan ini tidak masuk akal. “Jika memang ada penyelundupan, seharusnya dilaporkan ke aparat berwenang, bukan malah membatasi akses nelayan dengan pagar pelampung,” tegasnya.
Polemik lainnya yang disoroti adalah tindakan UPTD Tahura Ngurah Rai yang dianggap tebang pilih dalam menegakkan aturan. Pada satu sisi, mereka mengeluarkan Surat Peringatan (SP3) kepada 17 UMKM di Serangan dengan alasan melanggar kawasan mangrove. Namun di sisi lain, PT BTID justru sedang mengajukan izin pengelolaan mangrove seluas 27 hektar.
Lebih lanjut, catatan WALHI Bali menunjukkan bahwa 62,14 hektar kawasan Mangrove Tahura Ngurah Rai pernah dilepaskan untuk kepentingan PT BTID. “Jika mereka tegas terhadap UMKM, mengapa tidak melakukan hal yang sama terhadap PT BTID yang jelas-jelas telah mengurangi tutupan mangrove?” tanya Krisna Bokis.
Ketiga organisasi ini mengecam keras langkah PT BTID yang dinilai semakin mempersempit ruang hidup masyarakat Serangan. Mereka menuntut:
1. PT BTID membuka kembali akses masyarakat ke pantai dan perairan Serangan.
2. UPTD Tahura Ngurah Rai bersikap adil dalam menegakkan aturan lingkungan, termasuk menolak izin pengelolaan mangrove oleh PT BTID.
3. Pemerintah meninjau ulang dampak investasi PT BTID terhadap masyarakat Serangan, termasuk meninjau ulang izin reklamasi dan pemanfaatan ruang laut.
Sebagai pulau dengan sejarah dan ekosistem yang kaya, Serangan kini dihadapkan pada dilema besar: apakah investasi pariwisata akan membawa kesejahteraan atau justru semakin mempersempit ruang hidup masyarakatnya? (TB)