Bali dikenal sebagai pulau dengan kalender ritual yang padat, penuh dengan hari-hari suci yang sarat makna filosofis. Salah satunya adalah Purnama Kapat, purnama yang jatuh pada sasih kapat atau bulan keempat dalam kalender Bali. Perayaan ini bukan hanya sekadar momen spiritual, tetapi juga menjadi penanda keseimbangan alam dan kesempatan bagi umat Hindu untuk menyucikan diri lahir batin.
Secara harfiah, purnama berarti bulan penuh, sementara kapat merujuk pada bulan keempat dalam perhitungan kalender Bali. Dalam bahasa Sansekerta, bulan kapat disebut juga Kartika, sebuah periode yang dianggap sangat suci dalam tradisi Hindu. Pada saat inilah posisi bulan berada di garis khatulistiwa, membuat sinarnya dianggap sempurna dan penuh berkah.
Menurut lontar-lontar Hindu Bali, Purnama Kapat diyakini sebagai saat ketika Sang Hyang Siwa atau Parameswara melakukan yoga, disertai para dewa, bidadari, dan pengiringnya. Karena itu, hari ini dianggap sangat baik untuk melaksanakan upacara Dewa Yadnya, bentuk pemujaan kepada Tuhan dan manifestasi-Nya.
Purnama Kapat memiliki sejumlah keunggulan yang membuatnya istimewa dibandingkan purnama lainnya. Pertama, hari ini dianggap waktu terbaik untuk bersedekah dan berbuat kebajikan. Dalam tradisi Bali, pahala dari perbuatan baik yang dilakukan pada hari ini diyakini berlipat ganda.
Kedua, Purnama Kapat sering disebut sebagai momen untuk penyucian diri, di mana umat diingatkan agar memperbaiki Tri Kaya Parisudha — pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dengan demikian, Purnama Kapat bukan hanya soal ritual, tetapi juga perenungan moral untuk kembali pada kesucian hidup.
Ketiga, alam Bali pada sasih kapat biasanya berada pada titik keindahan: bunga bermekaran, udara sejuk, dan cuaca relatif seimbang. Tak heran, hari ini kerap dijuluki bulan keseimbangan, ketika manusia dan alam semesta selaras dalam harmoni.
Purnama Kapat dirayakan dengan berbagai upacara yang dilakukan di pura, merajan, maupun rumah tangga. Umat Hindu biasanya menghaturkan banten atau persembahan khusus, di antaranya:
Nasi kuning penek, persembahan kepada Sang Hyang Candra atau Dewata Wulan.
Canang wangi berisi bunga harum sebagai simbol keindahan batin.
Persembahan ayam putih (siungan) pada upacara tertentu sebagai simbol kesucian.
Prayascita, yakni rangkaian pembersihan diri yang dilakukan melalui doa dan upacara kecil.
Selain itu, banyak umat melakukan meditasi atau semedi pada malam purnama, meresapi cahaya bulan penuh sebagai simbol penerangan batin.
Salah satu bentuk nyata perayaan Purnama Kapat terlihat di kawasan Danau Tamblingan, Buleleng. Di sini, masyarakat adat menggelar upacara besar yang disebut ngaturang pengeresik, sebuah ritual penyucian lingkungan, air, dan pura-pura sekitar danau. Warga juga mempersembahkan sesaji sebagai ungkapan syukur sekaligus permohonan kesejahteraan.
Tradisi ini menunjukkan bahwa Purnama Kapat tidak hanya dimaknai secara spiritual, tetapi juga ekologis. Dengan menjaga alam melalui upacara, masyarakat Bali mengingatkan diri sendiri bahwa kesejahteraan manusia tidak bisa dilepaskan dari kelestarian lingkungan.
Di era modern, Purnama Kapat tetap menjadi salah satu hari raya penting yang diperingati umat Hindu di Bali. Meski sebagian orang mungkin lebih fokus pada rutinitas harian, kehadiran Purnama Kapat mengingatkan bahwa ada waktu khusus untuk memperlambat langkah, merenungi hidup, serta memperkuat hubungan dengan Tuhan dan alam.
Nilai-nilai ini relevan tidak hanya bagi umat Hindu, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin mencari harmoni hidup. Melalui perbuatan baik, kepedulian terhadap lingkungan, dan penyucian diri, Purnama Kapat mengajarkan manusia untuk selalu menjaga keseimbangan, baik dengan sesama maupun dengan alam semesta. (TB)
