Pakai Musik di Acara Pernikahan Wajib Bayar Royalti 2 Persen

Author:
Share

Polemik soal kewajiban membayar royalti musik di acara pernikahan mencuat setelah Wahana Musik Indonesia (WAMI), salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia, menyatakan bahwa setiap penggunaan lagu di acara pernikahan wajib dikenakan royalti. Pernyataan ini memicu perdebatan publik, termasuk di kalangan calon pengantin, pelaku industri wedding, hingga musisi.

Menurut WAMI, acara pernikahan termasuk kategori ruang publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan/atau Musik.

Acara pernikahan tetap dianggap ruang publik karena dihadiri orang banyak. Mau musiknya live band, DJ, atau rekaman, semua tetap harus membayar royalti.

Berdasarkan skema yang diterapkan LMK, tarif royalti untuk acara pernikahan ditetapkan 2 persen dari total biaya produksi musik. Biaya produksi ini mencakup sewa sound system, panggung, honor musisi atau penyanyi, lighting, hingga peralatan pendukung lainnya.

Pembayaran royalti dilakukan oleh penyelenggara acara, yang bisa berupa wedding organizer, hotel, restoran, atau keluarga pengantin. Dana yang terkumpul kemudian diserahkan ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk didistribusikan kepada pencipta lagu, komposer, dan pemegang hak terkait.

Namun, pandangan WAMI ini tidak sepenuhnya sejalan dengan sejumlah ahli hukum. Prof. Ahmad M. Ramli, Guru Besar Hukum dari Universitas Padjadjaran yang juga menjadi salah satu penyusun UU Hak Cipta, menilai bahwa acara pernikahan bersifat privat dan tidak mencari keuntungan sehingga tidak masuk kategori komersial.

“Royalti seharusnya hanya diberlakukan untuk kegiatan yang bersifat komersial. Pernikahan tidak memiliki tujuan mencari keuntungan, sehingga tidak wajib membayar royalti,” jelasnya.

Pernyataan ini memunculkan dilema hukum: apakah acara pernikahan yang dihadiri ratusan tamu tetap dianggap privat, atau berubah status menjadi ruang publik ketika melibatkan pihak ketiga seperti hotel atau penyedia jasa musik profesional.

Polemik ini juga menarik perhatian Ikatan Pengusaha Jasa Musik Pernikahan Indonesia (IPAMI). Ketua IPAMI mengatakan pihaknya siap menanggung royalti untuk menghindari gangguan acara, asalkan mekanisme perhitungan dan distribusi dana dilakukan secara transparan.

“Yang kami inginkan adalah kepastian. Kalau memang wajib, kami siap bayar. Tapi harus jelas ke mana uang itu mengalir,” tegasnya.

Meski regulasi sudah berlaku sejak 2014, penerapan di lapangan tidak selalu mulus. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) mengakui bahwa pengawasan terhadap acara pernikahan relatif sulit, mengingat banyak yang bersifat tertutup dan dilaksanakan di rumah.

Selain itu, banyak masyarakat yang belum paham bahwa lagu yang mereka putar di pesta resepsi—meski hanya dari playlist ponsel—tetap dilindungi hak cipta. Sosialisasi yang minim membuat kewajiban ini baru ramai dibicarakan setelah ada pernyataan tegas dari LMK.

Debat royalti musik di pernikahan ini pada akhirnya mempertemukan dua kepentingan: hak ekonomi pencipta lagu dan kebebasan masyarakat merayakan momen privat tanpa beban tambahan.

Selama belum ada kejelasan atau revisi regulasi yang membedakan secara tegas antara acara publik dan privat, kemungkinan perdebatan ini akan terus berlanjut. Bagi penyelenggara acara, ada baiknya melakukan konsultasi dengan LMK atau pengelola venue untuk memastikan kepatuhan hukum tanpa mengganggu kelancaran pesta. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!