Seorang sulinggih, Ida Pandita Kebayan, memberikan pandangan mendalam mengenai tata cara yang tepat dalam mengarak ogoh-ogoh, yang merupakan bagian dari rangkaian Hari Raya Nyepi di Bali.
Menurutnya, penting untuk memahami konsep bhuta kala, yang mewakili elemen ruang (bhuta) dan waktu (kala) dalam kehidupan manusia. Hal itu disampaikan Ida Pandita dalam video yang diunggah di akun Facebook milik Ida.
Menurut Ida, Bhuta Kala diwujudkan dalam bentuk ogoh-ogoh, simbolisasi kekuatan negatif yang harus dinetralkan agar tidak membawa gangguan.
Ida Pandita menegaskan bahwa kekeliruan dalam cara dan waktu mengarak ogoh-ogoh dapat diibaratkan seperti mengundang kekuatan bhuta kala tanpa memberikan persembahan yang layak.
Sehingga berpotensi menimbulkan bencana, termasuk merobohkan bangunan, pohon, dan bahkan menyebabkan korban jiwa.
Beliau menyarankan agar prosesi melasti dilakukan terlebih dahulu untuk menyucikan diri, diikuti dengan upacara tawur di catus pata (simpang empat), sebelum mengarak ogoh-ogoh.
Dalam prosesi ini, bhuta kala disomya (dinetralkan), sehingga arak-arakan bisa dilakukan dengan penuh suka cita tanpa menimbulkan energi negatif.
Selain itu, Ida Pandita juga menekankan perlunya melakukan upacara mabyakala bagi para pengarak dan memelaspas serta pasupati ogoh-ogoh sebelum diarak.
Setelah diarak, ogoh-ogoh harus dipralina (dimusnahkan) agar siklus penyucian dan penetralan energi negatif tersebut menjadi sempurna.
Waktu yang tepat untuk mengarak ogoh-ogoh, menurut Ida Pandita, adalah pada Hari Pangerupukan, sehari sebelum Nyepi.
Setelah upacara tawur di catus pata, ogoh-ogoh bisa diarak, baik dalam bentuk perlombaan maupun tidak. “Apakah dilombakan atau tidak, itu tidak masalah selama prosesi yang dilakukan benar. Dengan begitu, Bali akan kembali tenang, dan bencana alam akan menjauh,” ujarnya. (TB)