![]() |
Sumber: Kemendikbud |
Bali Mula, yang juga dikenal sebagai Bali Asli, merujuk pada periode sejarah Bali dari sekitar 250 SM hingga abad ke-8 Masehi. Periode ini menjadi bagian penting dalam sejarah karena mencerminkan awal peradaban masyarakat Bali sebelum pengaruh agama Hindu dan Buddha masuk ke pulau ini.
Meski tidak banyak sumber tertulis yang ditemukan, para ahli arkeologi berhasil menggali informasi dari berbagai peninggalan, seperti sarkofagus (peti batu) yang tersebar di Gilimanuk, Gianyar, dan beberapa daerah lain di Bali.
Sarkofagus yang ditemukan diperkirakan berusia antara 2.000 hingga 2.500 tahun. Salah satu tokoh yang memperkuat estimasi ini adalah R.P. Soejono, seorang ahli arkeologi terkemuka Indonesia. Dalam beberapa penggalian, sarkofagus ditemukan bersama dengan kerangka manusia lengkap, periuk, dan manik-manik yang berfungsi sebagai bekal kubur.
Yang menarik, kerangka tersebut memiliki gigi yang diasah rata, yang dikenal dengan tradisi metatah atau mesangih. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi metatah dan ngaben sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Bali Mula.
Istilah ngaben sendiri berasal dari kata “ngabain” yang berarti mekelin atau memindahkan, bukan “ngabuin” yang berarti membakar mayat, seperti yang sering diasumsikan.
Sebelum agama Hindu dan Buddha hadir di Bali, masyarakat Bali Mula telah memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap roh leluhur atau wit, yang diyakini bersemayam di puncak gunung dan disebut sebagai “Hyang.” Selain itu, mereka juga memuja batu besar, pohon raksasa, dan berbagai elemen alam lainnya yang dianggap sebagai tempat tinggal roh suci.
Kepercayaan ini menunjukkan bahwa masyarakat Bali Mula memiliki spiritualitas dan budaya yang kaya jauh sebelum pengaruh agama-agama besar masuk ke pulau ini.
Peninggalan-peninggalan ini menjadi bukti nyata bahwa masyarakat Bali Mula telah memiliki peradaban yang maju dengan tradisi, kepercayaan, dan sistem budaya yang khas. Maka, anggapan bahwa masyarakat Bali Mula tidak memiliki kepercayaan adalah tidak benar, karena mereka sudah menjalani kehidupan yang sangat spiritual dan menghormati leluhur serta alam sekitarnya. (TB)
Sumber: Dinamika Kebudayaan Bali disusun I Wayan Sudarma, terbitan Denpasar: Upada Sastra