Desa Ababi, yang terletak di wilayah Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali, menyimpan jejak sejarah panjang yang sarat makna. Nama asli dari desa ini, sebagaimana tercatat dalam Purana Desa Adat Ababi, adalah “Karaman Ihara Babi”.
Catatan kuno ini mengungkap bahwa identitas Desa Ababi telah terbentuk sejak masa kerajaan di Bali.
Sayangnya, sebagian besar isi purana tersebut hilang, dan kini hanya tersisa tiga lembar naskah kuno.
Bahkan salah satunya telah mengalami kerusakan.
Meski demikian, fragmen yang tersisa tetap menjadi harta karun berharga bagi masyarakat setempat.
Purana merupakan catatan warisan leluhur yang ditulis di atas lempengan tembaga menggunakan aksara Bali kuno, atau yang dikenal sebagai para huruf Bali.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kepurbakalan pada Agustus 1980, diperkirakan Desa Adat Ababi telah ada sejak masa pemerintahan Raja Sri Anak Wungsu.
Nama “Karaman Ihara Babi” pun bukan sekadar susunan kata, melainkan menyimpan filosofi mendalam. Karaman berarti masyarakat atau krama, Ihara merujuk pada pohon eha yang tumbuh di lereng-lereng tebing, sedangkan Babi menunjuk pada buah dari pohon tersebut, yang disebut buah babi.
Dengan demikian, nama “Karaman Ihara Babi” menggambarkan komunitas masyarakat yang hidup di bawah pohon eha yang berbuah—simbol kesuburan, keseimbangan alam, dan harmoni dengan lingkungan.
Dari makna inilah, nama tersebut disederhanakan masyarakat secara turun-temurun menjadi “Hara Babi” atau “Eha Babi”, lalu dikenal hingga kini sebagai Ababi.
Dalam salah satu kisah yang tercatat di purana, disebutkan bahwa Raja Bali pernah mengutus tim peneliti kerajaan bernama pakiran-kiran yang dipimpin oleh Dang Acarya Kuturan Lembu Kara.
Penelitian ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas permohonan Prajuru Desa Adat Ababi yang ingin dibebaskan dari kewajiban membayar upeti.
Setelah kajian mendalam, tim kerajaan menyatakan bahwa Desa Ababi memang layak mendapat pembebasan tersebut.
Arahan dari raja tidak berhenti di sana. Masyarakat Desa Ababi juga diberi petunjuk untuk terus menjaga sistem pertanian mereka dan aktif melakukan pemberantasan hama secara lahir dan batin.
Arahan spiritual ini kemudian diwujudkan dalam bentuk Upacara Palebon Jero Ketut, yaitu ritual pengabenan tikus sebagai simbol pengembalian hama ke habitat asalnya.
Kisah suci lain yang termuat dalam Purana Desa Ababi adalah legenda Betara Dewi Dabuh, Dewi Kemakmuran yang memberikan berkah kepada warga desa.
Dikisahkan, Dewi Dabuh membawa air suci yang dibungkus daun kumbang (daun talas) dan menumpahkannya di bawah pohon eha Desa Ababi.
Sebagai syarat, masyarakat harus menggelar Upacara Bukakak Kebo Metanduk Emas sebagai bentuk persembahan.
Permintaan ini diterima dengan tulus, dan air yang ditumpahkan pun menjadi mata air Eha yang masih dimanfaatkan hingga kini.
Sisa air tersebut kemudian dibawa ke Desa Jungutan (Desa Adat Sibetan) dan dituangkan di Telaga Tista, yang hingga kini dikenal sebagai tempat suci.
Daun pembungkusnya dilempar ke danau dan menjadi asal-usul nama “Kumbang” yang melekat di tempat itu.
Kuatnya tradisi dan warisan budaya membuat Desa Ababi tumbuh sebagai pusat spiritual dan sosial masyarakat sekitar.
Seiring perjalanan waktu, desa ini berkembang dan melahirkan lima desa adat turunan: Kesimpar, Peladung, Kertasari, Tampuangan, dan Jasi.
Meskipun kini berdiri secara administratif masing-masing, kelima desa ini tetap menjalin keterikatan erat dengan Desa Ababi sebagai desa induk, mempertahankan akar sejarah, adat, serta budaya leluhur yang telah diwariskan turun-temurun.
Dengan kekayaan sejarah dan kepercayaan lokal yang masih lestari, Desa Ababi tidak hanya menjadi tempat bermukim, tetapi juga sumber inspirasi dan identitas budaya bagi masyarakat Bali. (TB)