Desa Adat Tenganan Dauh Tukad berlokasi di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali. Keberadaannya memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan peristiwa perang puputan. Konon, setelah melakukan persembahyangan, pasukan yang mengenakan pakaian serba putih bergerak ke arah timur melewati Tukad Pesedahan hingga mencapai Lapangan Pakuwon, yang dalam babad dikenal sebagai Tegal Panangsaran.
Dalam pertempuran sengit, wilayah Dukuh Mengku berhasil direbut oleh I Gusti Ngurah Sidemen dan I Gusti Ngurah Abiantimbul, mengakibatkan kekalahan besar bagi pihak lawan. Sisa penduduk Dukuh Mengku pun melarikan diri ke berbagai penjuru, termasuk ke bukit di sebelah barat untuk menyelamatkan diri.
Kekalahan ini kemudian dilaporkan kepada Dalem Gelgel, yang memutuskan untuk memberikan hak istimewa bagi penduduk yang tersisa. Mereka dibebaskan dari kewajiban cecamputan serta tidak diwajibkan menyerahkan istri kepada raja.
Kebijakan ini terus berlanjut dan diterapkan oleh keturunan raja yang berkuasa di Karangasem hingga saat ini. Selain itu, Dalem Gelgel juga menginstruksikan I Gusti Ngurah Tenganan untuk mengatur kembali wilayah yang menjadi lokasi pertempuran, yakni di Tenganan Pesedahan, guna memenuhi kewajiban suci Mapahayu di Pura Rambut Petung, salah satu pura penyungsungan utama kerajaan.
Sementara itu, wilayah Dauh Tukad dipercayakan kepada I Gusti Ngurah Sidemen, yang menugaskan putranya, I Made Bendesa, untuk menjalankan pemerintahan dan merawat pura-pura setempat, termasuk Pura Petung.
Hingga kini, hubungan sejarah antara Desa Tenganan Dauh Tukad dengan Desa Adat Pekarangan, Pesedahan, dan Tenganan Pagringsingan masih tetap terjaga, baik dalam pelaksanaan upacara adat maupun dalam ikatan sosial antar komunitas. Desa adat ini memiliki perpaduan budaya dari dua era, yaitu masa sebelum dan sesudah Majapahit, yang tetap terpelihara dalam berbagai ritual keagamaan.
Bahkan, sistem penanggalan waktu yang digunakan masih mengacu pada perhitungan sasih khas Baliaga, seperti di Tenganan Pagringsingan. Akulturasi budaya antara penduduk asli dan pendatang turut membentuk identitas unik yang diwariskan secara turun-temurun.
Secara administratif, desa adat ini terdiri dari satu banjar dinas yang terbagi dalam dua wilayah, yaitu Tempek Kaler dan Tempek Kelod. Beberapa pura utama yang menjadi pusat spiritual masyarakat, seperti Pura Bale Agung, Pura Dalem Majapahit, Pura Dalem Setra, Pura Pegilihan, dan Pura Puseh, telah mengalami renovasi untuk menjaga kelestariannya.
Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah upacara Ngejot, yang menjadi bagian dari prosesi Usaba Sambah. Dalam ritual ini, para pemuda (Teruna) dan gadis desa (Daa) menjalankan serangkaian upacara yang diawali di masing-masing subak sebelum berpuncak di Pura Bale Agung.
Pura ini merupakan tempat pemujaan kepada Dewa Brahma, simbol pencipta alam semesta. Rangkaian Usaba Sambah berlangsung selama 15 hari dengan berbagai tahapan, termasuk Nedunang Ida Betara, Nulak Damar, Penampahan, Metekrok, Daa Nyambah, Mekare-kare (Perang Pandan), Ngepik, Perejangan, dan Nyineb.
Dalam upacara Ngejot, pemuda desa membawa sesajen berupa bunga harum dan minyak wangi sebagai simbol penghormatan kepada wanita. Sebagai balasan, para gadis memberikan aneka jajan tradisional khas Bali.
Pertukaran ini melambangkan kebersamaan dan saling menghormati antara Teruna dan Daa. Tradisi ini ditutup dengan Magibung, yaitu makan bersama di halaman Pura Bale Agung, yang menjadi ajang interaksi sosial serta mempererat persatuan dan kekerabatan di antara mereka.
Keunikan Desa Tenganan Dauh Tukad juga tercermin dalam sistem kepercayaannya yang menggabungkan dua aliran, yaitu Indra dan Ciwa. Aliran Indra memiliki prosesi ritual yang mirip dengan Desa Baliaga Tenganan Pagringsingan, sementara aliran Ciwa menjalankan ritual keagamaan seperti desa adat lainnya di Bali.
Perpaduan ini menciptakan tradisi khas, seperti Mekare-kare atau Perang Pandan, yang menjadi daya tarik budaya sekaligus simbol kearifan lokal yang terus dijaga. (TB)