Desa Air Kuning, yang terletak di pesisir selatan Kabupaten Jembrana, Bali, memiliki luas wilayah sekitar 2,71 km persegi dan dihuni oleh sekitar 4.209 jiwa yang terbagi dalam lima banjar dinas. Desa ini merupakan bagian dari komunitas pesisir yang memiliki keberagaman agama dan budaya, dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, sedangkan sebagian lainnya beragama Hindu. Kehidupan masyarakatnya mencerminkan toleransi yang tinggi terhadap perbedaan agama.
Secara geografis, Desa Air Kuning berbatasan dengan Kelurahan Sangkaragung di sebelah utara, Pantai Air Kuning di sebelah selatan, Desa Yeh Kuning di sebelah timur, dan Desa Perancak di sebelah barat. Desa ini bertetangga dengan Desa Yeh Kuning, yang dahulu merupakan satu wilayah administratif hingga akhirnya dipisahkan pada tahun 1942 akibat pertambahan jumlah penduduk.
Desa Yeh Kuning kini mayoritas dihuni oleh umat Hindu, sementara Desa Air Kuning didominasi oleh umat Muslim. Leluhur penduduk Desa Air Kuning berasal dari suku Bugis, yang dikenal sebagai pelaut ulung.
Mereka merupakan bagian dari pasukan Daeng Nachoda, panglima Kerajaan Gowa, yang tiba di wilayah ini antara tahun 1667 hingga 1669. Setelah kalah perang melawan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), pasukan ini menetap di Jembrana.
Raja Arya Pancoran IV, Saipulrahman, memberikan tempat tinggal bagi mereka di tepian sungai yang luas. Dari sana, mereka membangun permukiman di pesisir pantai dan melanjutkan hidup sebagai nelayan.
Interaksi antara penduduk Bugis yang beragama Islam dan masyarakat lokal beragama Hindu menciptakan akulturasi budaya yang unik. Selama bertahun-tahun, komunitas Bugis mulai fasih berbahasa Bali dan hidup berdampingan dengan harmonis.
Hingga kini, tidak jarang terjadi pernikahan antara penduduk Desa Air Kuning dengan warga Hindu dari desa lain, sehingga banyak keluarga di desa ini memiliki kerabat dari latar belakang agama berbeda.
Sebagai desa nelayan, kehidupan masyarakat Desa Air Kuning erat kaitannya dengan tradisi maritim. Selain itu, kesenian lokal juga menjadi bagian penting dari identitas budaya desa ini. Salah satu kesenian yang berkembang adalah hadrah, sebuah musik perkusi yang menggunakan alat seperti rebana, pantus (gendang), dan jidur (drum bas). Kesenian ini biasanya dimainkan untuk mengiringi lantunan syair pujian atau syukuran dalam bahasa Arab.
Tradisi hadrah diperkenalkan oleh penduduk dari Banyuwangi, Jawa Timur, sekitar tahun 2000-an. Sebelumnya, Desa Air Kuning memiliki tradisi burdah, yang menggunakan rebana berukuran besar. Namun, tradisi burdah kini tidak lagi dilanjutkan.
Hingga saat ini, kehidupan di Desa Air Kuning mencerminkan harmoni antaragama. Dari 1.700 keluarga yang tinggal di desa ini, sekitar 50 keluarga merupakan non-Muslim.
Hubungan antarwarga berlangsung harmonis, menunjukkan toleransi yang telah terbangun selama bertahun-tahun. Tradisi saling menghormati dan bekerja sama tetap menjadi nilai utama masyarakat desa ini, menjadikan Desa Air Kuning sebagai contoh keberagaman yang damai di Bali. (TB)