Terletak di kaki utara Gunung Agung, Desa Ban di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, menyimpan sejarah panjang dan sarat makna.
Desa ini tak hanya dikenal karena letaknya yang strategis di pegunungan, namun juga karena wilayahnya yang sangat luas, bahkan melebihi setengah dari luas Kota Denpasar.
Luas Desa Ban mencapai sekitar 70 km², sementara Denpasar memiliki luas sekitar 125 km².
Awalnya, kawasan ini hanyalah hutan lebat yang belum tersentuh, dihuni oleh kelompok-kelompok kecil yang hidup terpencar di antara pepohonan.
Sekitar tahun 1813, belum ada pemukiman permanen di wilayah ini, kecuali satu komunitas kecil di daerah bawah yang kini dikenal sebagai Pinggan.
Namun, situasi berubah drastis ketika sebuah gempa besar mengguncang lereng Gunung Agung.
Bencana tersebut memicu tanah longsor, banjir, dan runtuhan material dari gunung, memaksa masyarakat yang tinggal di wilayah atas untuk mengungsi.
Dalam kondisi tertekan dan diliputi rasa takut, para penduduk akhirnya memilih menetap di daerah Pinggan yang lebih aman.
Setelah masa-masa sulit itu, para pemuka adat dan tokoh masyarakat berkumpul dalam sebuah musyawarah atau sangkepan.
Pertemuan tersebut membahas pembentukan desa baru serta penentuan nama yang mewakili pengalaman kolektif mereka.
Dari proses panjang tersebut, lahirlah nama “Ban”, yang merupakan adaptasi dari kata “Megeban-geban”—sebuah istilah lokal yang menggambarkan arus perpindahan penduduk secara berbondong-bondong.
Kini, Desa Ban berdiri sebagai simbol kekuatan dan ketangguhan masyarakat yang berhasil bangkit dari bencana, membangun kehidupan dari reruntuhan, dan membentuk identitas yang kuat di tengah tantangan alam.
Sejarah panjangnya menjadi warisan tak ternilai bagi generasi penerus dan bagian penting dari kekayaan budaya Karangasem. (TB)