Sejarah Desa Bantiran Tabanan, Dulu Disebut Sebagai Ibu Desa

Author:
Share

Desa Bantiran adalah salah satu dari 14 desa yang berada di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali. Secara geografis, desa ini berbatasan dengan Desa Subuk di utara, Desa Tinggarsari di timur, Desa Pupuan di selatan, serta Desa Munduk Temu di barat. Desa ini memiliki sejarah panjang yang dapat ditelusuri dari berbagai peninggalan arkeologi yang ditemukan di wilayahnya.
Bantiran merupakan desa tua yang keberadaannya dapat dibuktikan melalui penemuan artefak bersejarah, termasuk prasasti tembaga yang tersimpan di Pura Puseh Bantiran. Prasasti ini terdiri dari dua kelompok, masing-masing berasal dari masa pemerintahan raja-raja Bali Kuna. 
Kelompok pertama, bertahun Çaka 923 (1001 M), dikeluarkan atas nama Ratu Sri Gunapriyadharmapatni dan suaminya, Raja Sri Dharmodayana Warmadewa. Kelompok kedua, bertahun Çaka 1072 (1150 M), dikeluarkan atas nama raja Sri Maharaja.  
Dalam prasasti ini disebutkan batas-batas wilayah Desa Bantiran pada masa itu, yang meliputi Yeh Kapah dan Byu Metatu di barat, Ara hingga Patalyan Batu di utara, Punduk Ibu di timur, serta Kayu Puring dan Punduk Sumpilah di selatan. Selain itu, Prasasti Gobleg yang berasal dari masa Raja Sri Ugrasena (915-936 M) turut menyebutkan keberadaan “Nayakan Bantiran,” yang diduga merupakan pemimpin atau tetua desa Bantiran kala itu.
Dalam berbagai prasasti yang ditemukan, Bantiran disebut sebagai “Banua i Bantiran” atau “Ibu Desa,” menandakan bahwa desa ini memiliki peran penting sebagai pusat pemerintahan. Konsep “Banua” dalam sistem masyarakat Bali Kuna mengacu pada desa induk, sedangkan “Anak Banua” merujuk pada desa-desa bawahan yang lebih kecil. Ini menunjukkan bahwa sejak zaman kuno, Bantiran telah memiliki sistem birokrasi yang terstruktur dengan baik.
Masyarakat Bantiran pada masa itu mayoritas bekerja sebagai petani yang menggarap sawah milik raja. Namun, sejarah mencatat bahwa pernah terjadi aksi mogok kerja karena tindakan sewenang-wenang petugas pajak kerajaan yang menaikkan pungutan secara tidak adil. Hal ini menjadi bukti bahwa praktik korupsi sudah ada sejak masa lampau.
Selain sektor pertanian, prasasti juga mencatat adanya bangunan suci bernama “Hyang Sampalika” yang wajib dijaga dan dipelihara oleh masyarakat Bantiran. Ritual dan upacara keagamaan menjadi bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat kala itu.
Selain prasasti, ditemukan pula beberapa artefak dari logam yang mengindikasikan perkembangan budaya dan seni di Desa Bantiran pada abad ke-10 hingga ke-13. Beberapa di antaranya meliputi empat lempengan logam yang diduga merupakan bagian dari gamelan selonding, dan pegangan cermin perunggu dengan ukiran hias, serupa dengan temuan di situs Blanjong.
Penemuan-penemuan ini memperkuat dugaan bahwa masyarakat Bantiran pada masa itu telah memiliki kehidupan yang cukup maju dan tertata dengan baik.
Seiring berjalannya waktu, Desa Bantiran mengalami berbagai perubahan administrasi. Awalnya, desa ini masih menjadi bagian dari Desa Pupuan. Namun, akibat pertumbuhan penduduk serta perkembangan wilayah, Bantiran ditetapkan sebagai desa persiapan pada tahun 1988 dan akhirnya resmi menjadi desa definitif pada tahun 1990.
Pada awalnya, Bantiran hanya terdiri dari empat banjar, yakni Banjar Bantiran, Banjar Ambang, Banjar Asah, dan Banjar Tejabukit. Namun, demi meningkatkan efektivitas pelayanan kepada masyarakat, terjadi pemekaran banjar pada tahun 2010. Saat ini, Desa Bantiran memiliki sembilan banjar dinas, yaitu:
1. Banjar Dinas Ambang  
2. Banjar Dinas Asah  
3. Banjar Dinas Bantiran  
4. Banjar Dinas Tejabukit  
5. Banjar Dinas Bantiran Kelod  
6. Banjar Dinas Temusari  
7. Banjar Dinas Palisan  
8. Banjar Dinas Sasaan  
9. Banjar Dinas Seleksek  
Pemekaran ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah desa.
Desa Bantiran memiliki sejarah panjang yang membuktikan bahwa peradaban telah berkembang di wilayah ini sejak zaman Bali Kuna. Keberadaan prasasti dan peninggalan arkeologi lainnya menjadi bukti otentik bahwa desa ini telah memiliki sistem pemerintahan dan kehidupan sosial yang tertata sejak berabad-abad lalu. Hingga kini, Desa Bantiran terus berkembang, mempertahankan tradisi leluhur sambil beradaptasi dengan perubahan zaman. (TB)
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!