Sejarah Desa Banyupoh Buleleng, Berkaitan dengan Pura Pulaki

Author:
Share
 

Desa Banyupoh yang terletak di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, memiliki sejarah panjang yang menarik. Dikelilingi oleh perbukitan tinggi yang berfungsi sebagai benteng alami, desa ini menempati posisi strategis yang menguntungkan dari segi pertahanan. 

Namun, jauh sebelum dikenal sebagai Banyupoh, wilayah ini pernah menjadi bagian dari pusat peradaban dan pemerintahan kuno yang berkaitan erat dengan keberadaan Pura Agung Pulaki dan pura-pura lainnya di sekitarnya.  
Sejarah mencatat bahwa pada abad ke-14, sekitar tahun 1489 M, wilayah ini dikenal dengan nama “Pulaki.” Catatan dalam kitab Dwi Jendra Tatwa menyebutkan bahwa daerah tersebut menjadi tempat pemujaan Batari Dalem Melanting dan Batari Dalem Ketut. Bahkan, ada indikasi bahwa Pulaki saat itu menjadi pusat pemerintahan dan aktivitas sosial, ekonomi, serta keagamaan.    
Beberapa sumber menunjukkan bahwa Pulaki tidak hanya terkenal sebagai kawasan suci, tetapi juga pernah menjadi pusat pemerintahan di wilayah Dauh Enjung, yakni bagian barat Bali Utara. Menurut Palelintih Sirarya Gajah Para, seorang pemimpin bernama I Gusti Ngurah Pulaki menguasai daerah yang sangat luas, mencakup Banyuwedang di barat hingga berbagai desa dan dusun di timur. 
Hal ini diperkuat oleh tulisan dalam buku Ekspedisi Gajah Mada ke Bali, yang menyebutkan bahwa pada tahun 1343, pasukan Gajah Mada menyerang Bali dan melewati Pulaki sebagai salah satu titik strategis.  
Namun, meskipun disebut sebagai pusat kekuasaan, belum ada kepastian kapan kerajaan Pulaki berdiri dan mengalami keruntuhan. Yang jelas, daerah ini kemudian mengalami kehancuran besar pada tahun 1489 M, menyebabkan wilayahnya menjadi kosong selama lebih dari 400 tahun.    
Kawasan yang pernah ramai ini berubah menjadi hutan belantara yang hanya dihuni oleh satwa liar seperti babi hutan, harimau, dan kera. Keadaan ini bertahan hingga sekitar tahun 1920, ketika pemerintah kolonial Belanda mengontrakkan wilayah tersebut kepada seorang pengusaha keturunan Tionghoa bernama Ang Te Kwath selama 30 tahun. 
Perlahan, pekerja dari luar Bali, seperti dari Jawa, Madura, dan Mandar, mulai datang untuk bekerja di lahan yang dikelola Ang Te Kwath. Nama Banyupoh sendiri diyakini berasal dari kata “banyu” (air) dan “po” (tepi laut), mengacu pada pemukiman pertama yang berada di sepanjang pantai. 
Perkembangan berikutnya terjadi pada tahun 1954, ketika gelombang migrasi besar dari berbagai daerah di Bali seperti Karangasem, Jembrana, Gianyar, serta dari Jawa Timur dan Bugis mulai menetap dan membuka lahan di kawasan ini.    
Proses pembukaan hutan di Banyupoh bukanlah hal yang mudah. Para pendatang harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk serangan penyakit malaria yang kala itu merajalela. Banyak dari mereka yang akhirnya kembali ke kampung halaman, sementara sebagian lainnya tetap bertahan untuk menggarap tanah di bawah penguasaan Ang Te Kwath. 
Menurut cerita para tetua, salah satu tokoh perintis yang berperan besar dalam pembangunan desa ini adalah Ketut Kusah. Meskipun awalnya hanya berstatus penyakap (penggarap), masyarakat Banyupoh akhirnya berhasil menetap dan membangun desa mereka sendiri. 
Seiring berjalannya waktu, Banyupoh berkembang menjadi desa yang kita kenal sekarang, dengan masyarakatnya yang beragam namun tetap menjunjung tinggi nilai budaya dan tradisi leluhur.    
Sejarah Banyupoh adalah kisah tentang kejayaan, kehancuran, dan kebangkitan kembali. Dari pusat pemerintahan kuno di Pulaki hingga menjadi desa modern yang dihuni oleh berbagai etnis, Banyupoh menyimpan jejak sejarah panjang yang membuktikan ketahanan dan semangat warganya dalam menghadapi perubahan zaman. (TB)
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!