Desa Batungsel merupakan salah satu desa yang berlokasi di Kecamatan Pupuan, Tabanan, Bali.
Perjalanan sejarah desa ini sangat panjang hingga sampai saat ini.
Pada zaman dahulu, masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Batukaru bagian barat terbagi dalam beberapa Padukuhan.
Setiap Padukuhan memiliki aturan, wilayah, dan cara hidup yang berbeda, termasuk dalam berhubungan dengan Sang Hyang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam kebijaksanaan-Nya, Ida Sang Hyang Widhi Wasa menciptakan seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan penuh dalam masyarakat, yang dikenal dengan sebutan Warih Wengin.
Nama ini berasal dari kata “Warih” yang berarti keturunan, dan “Wengin” yang bermakna alam niskala atau Sang Hyang Pencipta itu sendiri.
Warih Wengin lahir dalam sebuah keluarga yang bermukim di daerah bagian hilir.
Seiring waktu, daerah ini dikenal dengan nama Gunung Waringin.
Dengan kesaktian dan kebijaksanaannya, ia berhasil memikat hati masyarakat dan diangkat sebagai pemimpin dengan sebutan Pacek, Paku, atau Pasek, yang semuanya bermakna “Raja”.
Setelah menjadi pemimpin, Pasek mulai menata masyarakat berdasarkan konsep Tri Hita Karana, yang mencakup Parahyangan (hubungan dengan Tuhan), Pawongan (hubungan antar sesama manusia), dan Palemahan (hubungan dengan lingkungan).
Dikisahkan bahwa Pasek berkeinginan membangun sebuah tempat suci atau Parahyangan.
Untuk itu, ia melakukan Tapa Brata, Yoga, dan Semadi.
Dalam semadinya, ia mendapatkan wangsit untuk membangun Kahyangan menggunakan Batu Utama atau batu bertuah sebagai fondasi.
Pasek diperintahkan untuk mengambil batu dari dua sungai, yaitu Yeh Kelih dan Yeh Balian.
Batu-batu yang diambil dari sana mengeluarkan sinar keemasan, menandakan kekuatan spiritualnya.
Saat pengambilan batu dari Sungai Yeh Balian, para warga mengalami kesulitan karena batu tersebut lebih berat dibandingkan batu lainnya.
Akibat kelelahan, mereka memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon cemara yang memiliki cabang besar.
Batu-batu tersebut mereka letakkan di cabang pohon.
Ketika hendak melanjutkan perjalanan, mereka terkejut karena batu-batu tersebut seolah melekat erat pada cabang pohon dan tidak dapat dipindahkan lagi.
Fenomena aneh ini akhirnya membuat warga menamai daerah tersebut sebagai Batungsel, yang berarti tempat di mana batu “ma engsel” atau melekat.
Seiring berjalannya waktu, pohon cemara tersebut tumbang, dan batu-batu yang melekat jatuh ke tanah.
Lokasi ini kemudian dijadikan tempat suci yang dikenal sebagai Pura Batur, tempat pemujaan yang menjadi bagian penting dalam kehidupan spiritual masyarakat setempat.
Kisah ini menjadi bagian dari warisan budaya dan sejarah yang tetap dihormati hingga saat ini, mencerminkan kebijaksanaan leluhur dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. (TB)