![]() |
Desa Bayung Cerik, yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, memiliki sejarah yang panjang dan penuh dengan perubahan seiring waktu. Nama desa ini sendiri berasal dari istilah “Baye Alit”, yang menggambarkan sejarah panjang perkembangan desa yang berawal dari sebuah keputusan Raja Sri Adji Tabenendra Warma Dewa.
Pada awalnya, sekitar tahun Caka 804-822 Masehi, Sang Ratu Sri Adji Tabenendra bersama permaisuri Sri Subadrika Darma Dewi datang ke Bali dengan membawa titah dari Ida Betara Ciwa dan Betara Indra. Mereka memilih untuk tinggal di Desa Kahuripan, yang terletak di Gunung Wangun Urip (sekarang dikenal dengan Puncak Penulisan). Di desa ini, beliau membentuk pemerintahan, menyusun awig-awig, serta menetapkan tata kelola yang baik dan adat yang kuat, dengan bantuan para pemimpin adat.
Namun, karena kondisi alam di Kahuripan yang dingin dan tanah yang kurang subur, Sang Ratu memutuskan untuk memerintahkan penduduknya untuk mencari lahan yang lebih subur di sekitar wilayah Kintamani. Banyak penduduk yang kemudian mencari tempat baru dan akhirnya menemukan wilayah yang dikenal dengan nama “Pakuan”. Di sinilah beberapa penduduk, yang dipimpin oleh seorang tukang jahit bernama I Balicak, membuka lahan pertanian.
Pada tahun Caka 877-955 Masehi, di Pakuan, I Balicak bersama masyarakat setempat mendirikan sebuah pura bernama Pura Tebenan. Mereka juga mengumumkan peresmian pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Kubayan bernama I Goto, dengan I Lupa sebagai juru tulis. Desa Pakuan pun menjadi pusat pemerintahan yang berkembang dengan pengaturan yang rapi.
Seiring berjalannya waktu, wilayah tersebut berkembang dan pada tahun saka 1055, tepatnya pada tanggal Tungleh, Keliwon, Candra, Senin Wara Kuningan (Oktober 1333), Desa Taryungan terbentuk. Desa ini dipimpin oleh Pan Pala dan Pan Lupa, dengan batas-batas wilayah yang jelas antara Banjar Bukih di utara, Desa Mangguh di timur, Banjar Marga Tengah di selatan, dan Desa Lembean di barat.
Desa Taryungan kemudian berubah nama menjadi Desa Pitu, yang merupakan cikal bakal dari Desa Bayung Cerik. Nama Bayung Cerik sendiri muncul dari perubahan kata “Baye Alit”, yang berarti “tempat kecil” dalam bahasa Bali. Seiring waktu, desa ini terus berkembang dan menjadi pusat kehidupan masyarakat sekitar.
Sejak tahun 1937, kepala desa Bayung Cerik dipegang oleh Jro Bayan Daging, yang memimpin desa dengan administrasi yang mengikuti pola desa lainnya. Pada tahun 1943/1944, dilaksanakan pemilihan kepala desa dan Jro Bayan Daging kembali dipercaya untuk memimpin hingga tahun 1945. Pada tahun 1950, Jro Bayan Daging digantikan oleh I Aget yang menjabat sebagai carik atau sekdes hingga tahun 1963.
Pada tahun 1964, Jro Bayan Daging kembali menjabat sebagai kepala desa hingga tahun 1969. Namun, karena kondisi pemerintahan yang kurang stabil, kepemimpinan desa diteruskan oleh Wayan Daging hingga tahun 1979. Desa Bayung Cerik pun terus berkembang dengan kepemimpinan yang berganti-ganti, antara lain I Wayan Daging dan I Wayan Tabeng sebagai sekdes pada tahun 1979-1987, diikuti dengan I Wayan Daging dan Ni Nengah Luih sebagai sekdes pada tahun 1987-1998. Pada tahun 1998 hingga 2005, I Wayan Sangglir memimpin desa sebagai kepala desa dengan I Nengah Gampil Asmara sebagai sekdes.
Dengan sejarah panjang dan perjalanan yang penuh tantangan, Desa Bayung Cerik terus tumbuh sebagai salah satu desa yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang kental, serta komitmen kuat terhadap pengelolaan pemerintahan dan kesejahteraan masyarakatnya. (TB)