![]() |
Pemkab Jembrana |
Desa Blimbingsari terletak di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali. Desa ini memiliki ciri khas unik karena hampir seluruh penduduknya beragama Kristen Protestan, namun tetap mempertahankan adat dan budaya Bali yang kental.
Keunikan ini terlihat dari arsitektur gereja yang mengadopsi gaya tradisional Bali, lengkap dengan ukiran khas yang memperindah bangunan. Selain itu, keramahan penduduk serta lingkungan desa yang bersih dan asri menjadikannya destinasi menarik bagi wisatawan.
Perpaduan antara ritual ibadah Kristen dengan unsur budaya Bali semakin memperkuat daya tarik Blimbingsari. Tak hanya itu, desa ini juga memiliki air terjun indah yang mudah dijangkau dengan kendaraan bermotor.
Pada tahun 1939, pemerintah kolonial Belanda melihat adanya ketegangan sosial akibat perpindahan agama yang terjadi di Denpasar dan sekitarnya. Untuk menghindari konflik lebih lanjut, Belanda mengusulkan pemindahan sekelompok warga Kristen ke wilayah baru.
Asisten pemerintah kolonial di Denpasar saat itu, Yansen, memberikan persetujuan atas rencana ini. Sebuah tim yang terdiri dari Made Sela, Made Rungu, dan Nyoman Regig ditugaskan untuk mencari lokasi pemukiman baru.
Dengan berjalan kaki selama tiga hari, mereka menelusuri beberapa wilayah, termasuk bagian timur Gumrih dan hutan utara Melaya. Dari atas pohon tinggi di sekitar Pura Indrakusuma (Candikusuma), mereka mengamati daerah sekitar dan akhirnya memilih wilayah hutan Melaya sebagai lokasi pemukiman yang kini dikenal sebagai Blimbingsari.
Dengan persetujuan Regent Jembrana dan Sedahan Agung, para pendatang mulai membuka lahan dan mengembangkan pertanian di daerah ini. Sebagai persiapan, pemerintah kolonial menugaskan para narapidana (bogolan) untuk membangun barak di sekitar area yang kini dikenal sebagai Dam Eka Santosa. Ketika tempat tinggal sementara ini selesai, para penduduk mulai berdatangan dan menetap di wilayah baru mereka.
Gelombang pertama pemukim yang tiba di hutan Blimbingsari berjumlah 30 orang laki-laki yang bertugas membuka lahan. Mereka tinggal di barak sementara dan selama tiga bulan membangun gubuk-gubuk sederhana untuk menyambut keluarga mereka yang menyusul kemudian.
Pembagian lahan dilakukan melalui sistem undian, dengan setiap keluarga memperoleh 2 hektar tanah, termasuk 20 are pekarangan. Para pemimpin desa dan pemuka agama diberikan tempat tinggal di lokasi strategis.
Nama Blimbingsari berasal dari banyaknya pohon belimbing yang tumbuh di wilayah tersebut, meskipun uniknya, pohon-pohon ini hanya berbunga tanpa berbuah.
Kedatangan keluarga ke Blimbingsari menjadi momen haru karena mereka harus meninggalkan kampung halaman mereka. Para pendatang membawa berbagai peralatan rumah tangga dan pertanian, termasuk bibit kelapa yang kemudian ditanam dan menjadi salah satu komoditas utama desa hingga kini.
Dalam membangun tata desa, mereka mengikuti konsep tradisional Bali, yaitu pola nyegara gunung, yang menempatkan desa di antara laut dan pegunungan dengan tata ruang berbentuk salib. Warga pertama yang menetap di Blimbingsari membayar pajak tanah ke desa ini, sementara mereka yang datang belakangan membeli lahan di sebelah selatan desa dan membayar pajak ke Melaya.
Kelihan desa pertama adalah Made Sela (Pekak War), sementara pemimpin rohani mereka adalah penginjil Made Cadug (Gurun Luh Sudarmi). Seiring berjalannya waktu, Blimbingsari berkembang pesat.
Penduduk dari daerah lain, seperti Madangan, mulai berdatangan. Pada tahun 1947, wilayah desa diperluas dengan pembentukan Ambyarsari.
Pembangunan infrastruktur berjalan dengan baik, dengan jalan-jalan desa yang tertata rapi hingga ke area pertanian. Awalnya, masyarakat menanam palawija untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri serta membantu keluarga yang masih tinggal di tempat asal.
Kini, Blimbingsari dikenal sebagai desa wisata yang menawarkan pengalaman unik berupa perpaduan budaya Bali dengan tradisi Kekristenan. Desa ini tidak hanya menyuguhkan keindahan alam dan suasana yang nyaman, tetapi juga berbagai fasilitas wisata, akomodasi, serta paket perjalanan yang menarik bagi pengunjung. (TB)