Sejarah Desa Bungaya Karangasem, Tempat Gugurnya I Gusti Batan Jeruk

Author:
Share

Desa Bungaya, yang terletak di Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, merupakan salah satu desa tua yang memiliki sejarah panjang. Desa ini pernah menjadi bagian penting dalam pemerintahan Dalem Gelgel, khususnya pada masa Dalem Waturenggong di abad ke-16. 
Keberadaan Bungaya sebagai pusat strategis kerajaan menjadikannya lokasi berbagai peristiwa bersejarah, termasuk perlawanan terhadap kekuasaan yang berlangsung di Bali pada masa itu. Salah satu peristiwa penting yang terjadi di Desa Bungaya adalah gugurnya I Gusti Batan Jeruk dalam pemberontakan Maruti. 
Ia gugur di Pura Jungutan atau Pura Penataran Bungaya. Setelahnya, kepemimpinan di wilayah ini diteruskan oleh I Gusti Alit Ngurah Bungaya, keturunan Pangeran Asak dari keluarga Arya Kepakisan. 
Pada abad ke-18, sebagai simbol kepercayaan dan pengabdian, masyarakat desa diberikan 40 bilah keris oleh De Kebayan Wayan. Keris ini kemudian menjadi bagian penting dalam berbagai upacara adat dan keagamaan di desa.  
Selain itu, Puri Karangasem juga memberikan lahan sawah seluas 108 saih yang dinamakan Uma Desa. Hasil dari lahan ini dimanfaatkan untuk mendukung pelaksanaan upacara keagamaan serta sebagai imbalan bagi warga yang menjalankan tugas adat. 
Pada masa itu, masyarakat Bungaya juga diperintahkan untuk membantu pembangunan Puri Karangasem dan Pura Bukit Kangin sebagai bagian dari hubungan erat antara desa dengan kerajaan.  
Pada tahun 1900, di bawah kepemimpinan Anak Agung Anglurah Agung Ketut Agung Karangasem, desa ini juga memiliki peran dalam pembagian lahan bagi komunitas Muslim di Kecicang Islam dan Kedokan. Tanah pekarangan dan kuburan diberikan kepada mereka sebagai bentuk penghargaan atas partisipasi mereka dalam pembangunan Puri Karangasem, khususnya dalam pengangkutan bata merah dari Bungaya.  
Nama Bungaya dipercaya berasal dari kata bunga yang berarti bunga, dan aya yang berarti besar. Konon, wilayah ini dipenuhi oleh bunga teratai atau padma yang tumbuh di sebuah kolam besar yang dibangun oleh Anglurah Tubekel Sakti, seorang utusan dari Kerajaan Majapahit. Pembangunan kolam dan taman ini diyakini sebagai simbol hubungan erat antara Kerajaan Majapahit dan Bali pada masa itu.  
Dari sudut pandang etimologi, Bungaya juga diartikan sebagai “Orang Besar” atau keturunan ningrat. Kata “Bung” berasal dari “Bong” atau “Wong” yang berarti orang, sedangkan “Aya” berarti besar. Hal ini mencerminkan bahwa desa ini dihuni oleh tokoh-tokoh berpengaruh dalam sejarah Bali.  
Keberadaan prasasti yang mencatat sejarah asli desa ini masih menjadi misteri. Menurut beberapa sumber, prasasti ini dahulu dibawa ke Puri Karangasem dan kemudian hilang saat akan dipindahkan ke Lombok. 
Perjalanan prasasti ini dihadang oleh badai dan ombak besar di Selat Lombok, sehingga tidak pernah sampai ke tujuannya. Meski demikian, sejarah Desa Bungaya tetap dapat ditelusuri melalui berbagai sumber lain seperti Lontar Purana Desa Bungaya dan Babad Dalem.  
Desa Bungaya tidak hanya memiliki sejarah panjang sebagai pusat pemerintahan dan keagamaan di Bali, tetapi juga menunjukkan hubungan erat dengan berbagai kerajaan dan komunitas lain. Keberadaan adat yang kuat serta berbagai peninggalan sejarah menjadikan desa ini sebagai salah satu bagian penting dari warisan budaya Bali. Hingga kini, Desa Bungaya tetap mempertahankan tradisi dan adat yang telah diwariskan secara turun-temurun. (TB)
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!