Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali, menyimpan jejak sejarah yang tak biasa dan sarat dengan nilai-nilai perjuangan.
Dahulu, kawasan ini bukanlah sebuah desa seperti sekarang, melainkan wilayah rawa-rawa yang belum memiliki nama, dianggap angker, dan belum dihuni secara permanen.
Menurut cerita para tetua, sebelum tahun 1909, wilayah ini berada di bawah Desa Adat Sega dan berbatasan langsung dengan Desa Adat Gulinten.
Perubahan besar mulai terjadi ketika Kerajaan Karangasem dipimpin oleh I Gusti Bagus Jelantik, yang kemudian dikenal dengan gelar Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem.
Ia memerintah dari tahun 1908 hingga 1950.
Pada awal masa pemerintahannya, wilayah rawa-rawa ini dijadikan tempat pembuangan bagi mereka yang dianggap musuh politik atau melawan kebijakan kerajaan.
Pilihan lokasi ini bukan tanpa alasan. Lingkungannya yang keras—penuh nyamuk pembawa penyakit dan binatang liar—diyakini mampu melemahkan para buangan secara fisik dan mental.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Para penghuni pertama wilayah ini, yang sebagian besar adalah orang-orang cerdas dan tangguh dari berbagai wilayah seperti Seraya, Bugbug, dan Jasi, justru berhasil bertahan hidup, membangun komunitas, dan menata kehidupan baru di tengah keterasingan.
Nama desa ini pun muncul dari semangat perlawanan.
Para pendiri awal memilih nama “Bungutan” yang berasal dari kata “bungut” atau mulut—sebagai lambang keteguhan mereka dalam menyuarakan kebenaran meskipun berhadapan dengan kekuasaan.
Lambat laun, sebutan itu berubah pelafalannya menjadi “Bunutan,” yang kini dikenal sebagai nama resmi desa tersebut.
Desa Bunutan hari ini adalah bukti nyata dari kekuatan tekad dan keberanian para leluhur dalam mengubah tempat pembuangan menjadi hunian yang penuh kehidupan dan harapan. (TB)