![]() |
Website Desa Canggu |
Dalam
mencari jejak sejarah Desa Canggu, Badung, Bali, sumber data ada sangat minim, baik berupa
lontar maupun prasasti, yang dapat mengungkapkan asal-usul nama desa tersebut.
Bahkan, warga setempat pun belum dapat memberikan penjelasan yang memuaskan
mengenai sejarah Desa Canggu.
Dilansir
dari wesite Desa Canggu, penelusuran sejarah ini menggunakan pendekatan dengan
membandingkan nama desa “Canggu” dengan desa-desa lain yang memiliki
nama serupa di wilayah Kerajaan Majapahit.
Berdasarkan
perbandingan tersebut, ditemukan kesamaan nama desa “Canggu” yang
terdapat di wilayah pelabuhan Kerajaan Majapahit, terletak di muara Kalibrantas.
Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat adanya kesamaan nama-nama desa antara
Bali dan Jawa pada masa Majapahit, seperti Kediri di Bali dan di Jawa,
Gerobogan, dan sebagainya.
Dalam
konteks keagamaan Hindu, perkembangan agama Hindu di Bali pada masa Majapahit,
terutama sekitar abad ke-14, terkait dengan kedatangan para resi seperti
Danghyang Dwijendra/Nirartha, Danghyang Astapaka, dan Empu Kuturan. Dari sini, diasumsikan
bahwa nama Desa Canggu mungkin terkait dengan desa serupa di Jawa dan memiliki
keterkaitan dengan tokoh-tokoh penting pada masa Majapahit.
Menurut
Babad Dalem Samprangan, pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir dari
Gelgel, yang kemudian bergelar Sri Semara Kepakisan, patihnya yang bernama Kyai
Petandakan dikirim ke Majapahit. Kyai Petandakan kemudian kembali ke Bali
dengan sebuah keris sebagai jimat untuk mempertahankan Bali.
Ketika
patih ini naik perahu di Bengawan Canggu (pelabuhan Kerajaan Majapahit),
kerisnya jatuh ke air namun urangkanya masih dipegang. Dengan kekuatan puja
mantra, anak keris tersebut kembali masuk ke dalam sarungnya, dan keris itu
diberi nama Begawan Canggu. Dari sinilah kemungkinan asal nama Desa Canggu.
Setelah
kembali ke Bali, Kyai Petandakan beristirahat di Gelgel dan membawa keris tersebut,
sehingga wilayah tersebut kemudian diberi nama “Canggu”. Nama ini
dianggap memiliki kekuatan tersendiri karena berasal dari seorang patih yang
memiliki kesucian batin, dan menjadi suatu wilayah dengan kedalaman spiritual
yang signifikan.
Kemudian
hal ini dibuktikan dengan kedatangan Resi dari Majapahit sekitar abad XIV yang
bernama Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Danghyang Dwijendra atau Nirartha dalam
perjalananya menuju Dalem waturenggong (Gianyar) sempat singgah di Canggu yaitu
Pantai Batu Bolong. Di di pantai ini atas kekuatan Yoganya timbul tirta Empul. Didalam
prasasti yang terdapat di Pura Batur disebutkan bahwa tirta Empul ring Batu
Bolong pesucian Bhatara ring Batur.
Sehingga
nama Canggu dan tirta Empul di Batu Bolong mempunyai sangkut paut dengan
orang-orang Majapahit terutama patih Kyai Petandakan dan Danghyang Dwijendra.
Selanjutnya
Desa Canggu yang terdiri dari 2 Desa yaitu Desa Tibubeneng yang di kepalai oleh
AA Gede Raka Mandri darai Banjar Tibubeneng dan I Made Pursa dari banjar Tegal
Gundul, dan Perbekelan Canggu yang di kepalai oleh seorang Perbekel yakni I Ketu
Sana.
Tahun
1958-1974 saat pemerintahan I Nyoman Pegig, Desa Canggu dan Desa Tibubeneng dijadikan
satu bernama Desa Canggu pada tanggal 10 Oktober 1958.
Demikianlah
sejarah dan perkembangan Desa Canggu, yang mencerminkan kekayaan budaya dan
spiritualitas yang mengakar dalam masyarakat Bali. Meskipun tantangan dalam
mengungkap sejarahnya, namun Desa Canggu tetap menjaga warisan dan kearifan
lokalnya dengan teguh, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan
kehidupan masyarakat Bali secara keseluruhan. (TB)