Desa Cemagi, yang terletak di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan perjalanan seorang pengembara sakti dari Bali Barat. Menurut kisah yang diceritakan oleh para penglingsir desa, sebelum berdirinya Kerajaan Mengwi, seorang pengembara dari wilayah yang kini dikenal sebagai Gilimanuk melakukan perjalanan menyusuri pantai selatan Bali ke arah timur.
Ketika mencapai daerah pesisir Semenur, ia menemukan tempat yang dikelilingi hutan lebat dan dipenuhi bebatuan yang dianggap angker. Dalam kondisi kelelahan, ia melakukan japa mantra dan menamai lokasi tersebut sebagai Batu Ngaos, yang sekarang dikenal sebagai Pura Gede Luhur Batu Ngaus.
Setelah menetap sejenak, pengembara tersebut mendirikan sebuah pemukiman di kawasan hutan yang kemudian berkembang menjadi sebuah banjar bernama Mengening. Nama ini berasal dari kata Meneng, yang berarti tinggal atau menetap.
Perjalanannya berlanjut ke arah utara, di mana ia menemukan daerah yang dipenuhi pohon asem atau Celagi. Karena tempat ini dianggap sebagai wilayah yang memberikan banyak hasil atau suguhan, ia menamakannya Desa Sagi, yang lama-kelamaan berubah menjadi Cemagi seperti yang dikenal saat ini.
Dalam perkembangannya, Desa Cemagi pernah menjadi bagian dari Desa Munggu. Pada tahun 1950-an, desa ini berstatus sebagai desa dinas dengan kepemimpinan seorang Kepala Desa atau Perbekel. Kemudian, pada tahun 1960-an, Desa Cemagi dan Desa Munggu bergabung menjadi satu desa dinas yang membawahi 25 banjar dinas.
Baru pada tahun 1997, Desa Munggu dimekarkan menjadi dua desa terpisah, yakni Desa Munggu dan Desa Cemagi. Pemerintahan Desa Cemagi secara resmi mulai berjalan sejak 27 Juli 1999, setelah mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari Gubernur Bali saat itu, Dewa Berata. Kepala desa pertama yang memimpin Desa Cemagi adalah Dewa Putu Gede, yang menjabat dari tahun 2000 hingga 2008. (TB)