Sejarah Desa Darmasaba Badung, Terkait dengan Perjalanan Keturunan Danghyang Nirarta

Author:
Share
Website Desa Darmasaba

Desa Darmasaba merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Sejarah desa Darmasaba ini akan dibahas dalam pembahasan berikut yang dilansir dari website desa.

Asal-usul nama Desa Darmasaba tercatat dalam lontar Usada Bali, yang memberikan gambaran tentang perjalanan sejarah desa ini. Dalam monografi yang diterbitkan pada tahun 1980, dijelaskan bahwa nama Darmasaba terkait dengan kisah keturunan Danghyang Nirarta.

Sang Kawi-Wiku yang berasal dari Daha (Jawa Timur) ini memiliki seorang cucu bernama Ida Pedanda Sakti Manuaba. Cucu tersebut tinggal di Desa Kendran, Tegalalang, Gianyar. Karena merasa tidak dihargai oleh ayahnya, Ida Pedanda Sakti Manuaba memutuskan untuk pergi mengembara bersama dua orang pengiringnya.

Perjalanan sang pendeta mengarah ke berbagai tempat, hingga akhirnya ia tiba di pura Sarin Buana yang terletak di Jimbaran. Di tempat ini, Ida Pedanda Manuaba melakukan semedi dan melihat sebuah sinar api yang sangat terang di utara. Rasa penasaran membuatnya bertekad untuk menelusuri sinar tersebut.

Perjalanan berlanjut hingga ia sampai di pura Batan Bila Peguyangan, tempat di mana ia bertemu dengan Ida Pedanda Budha yang tinggal di sana. Kedua pendeta tersebut melanjutkan perjalanan mereka ke arah utara dan tiba di Taman Cang Ana, sebuah taman milik Arya Lanang Blusung, di mana mereka melakukan semedi bersama-sama dan menetap untuk sementara waktu.

Kedatangan kedua pendeta ini segera terdengar oleh Bendesa setempat, yang bernama Bendesa Aban. Namun, karena merasa ragu untuk menghadap langsung, Bendesa Aban hanya mengamati mereka dari kejauhan. Dalam bahasa Bali, tindakan ini disebut ninjo, yang berarti memperhatikan dari jauh. Oleh karena itu, tempat ini dikenal dengan nama Peninjoan, yang kemudian menjadi nama Banjar di daerah tersebut.

Setelah menerima petunjuk dari kedua pendeta, Bendesa Aban akhirnya menghampiri mereka. Selanjutnya, Ida Pedanda Manuaba dan Ida Pedanda Budha melanjutkan perjalanan mereka dan bertemu dengan seorang bendesa lain. Tempat ini kini dikenal dengan nama Menesa, yang juga menjadi nama Banjar.

Perjalanan para pendeta ini juga mengarah ke sebuah pura yang sebelumnya terlihat dari pura Sarin Buana di Jimbaran, yaitu pura yang memancarkan sinar api yang besar. Pura tersebut kemudian dinamakan Pura Hyang Api, yang kini terletak di wilayah Banjar Menesa.

Selain itu, kedua pendeta bersama Bendesa Aban mengadakan pertemuan penting di Pura Budha Manis, sebuah pura yang dibangun oleh Kebo Iwa. Pertemuan ini membahas tentang kedharman (kesucian), dan sebagai hasilnya, tempat tersebut diberi nama Darmasaba, yang berasal dari kata “dharma” yang berarti kesucian dan “saba” yang berarti pertemuan.

Setelah pertemuan tersebut, Bendesa Aban berpamitan karena waktu sudah sore dan perjalanan harus dipercepat. Dalam bahasa Bali, mempercepat perjalanan disebut “Nguncabang.” Oleh karena itu, tempat yang dilalui dalam perjalanan tersebut kemudian diberi nama Cabe, yang sekarang menjadi nama sebuah Banjar.

Beberapa waktu setelah kejadian tersebut, Desa Aban yang dipimpin oleh Bendesa Aban mengalami bencana berupa serangan semut, yang membuat sebagian besar penduduknya meninggalkan desa. Mereka kemudian menetap di daerah perkebunan yang terletak di sebelah selatan Desa Aban. Daerah tempat mereka menetap ini akhirnya diberi nama Tegal, yang kini menjadi nama Desa Adat Tegal. (TB)

 

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!