![]() |
Desa Ekasari, yang terletak di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali, memiliki sejarah panjang yang bermula dari kedatangan para transmigran lokal. Awalnya, kawasan ini adalah hutan belantara yang kemudian dibuka dan dihuni oleh para pendatang dari berbagai daerah di Bali.
Seiring waktu, tiga desa utama terbentuk, yakni Palalinggah, Palasari, dan Adnyasari. Dalam perjalanan sejarahnya, ketiga desa ini akhirnya bersatu menjadi satu wilayah administratif dengan nama Ekasari.
Pada tahun 1934, sekelompok kecil penduduk yang terdiri dari 14 kepala keluarga dari Desa Baluk tiba di wilayah ini di bawah pimpinan Pan Gambar. Mereka membuka lahan dan membangun permukiman yang diberi nama Desa Palalinggah.
Nama ini berasal dari pohon pala yang banyak tumbuh di kawasan tersebut. Kehidupan masyarakat perlahan berkembang dengan mengubah hutan belantara menjadi daerah pertanian yang subur.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 24 September 1940, datang lagi 24 kepala keluarga dari Kabupaten Badung yang dipimpin oleh G.I Gusti Kompiang Djiwa. Mereka ditemani oleh seorang misionaris bernama Pastor Simon Buis SVD.
Rombongan ini membuka lahan di hutan Pangkung Sente, yang kemudian dikenal sebagai Palasari Lama. Sayangnya, konflik internal menyebabkan perpecahan, sehingga enam keluarga meninggalkan tempat tersebut, sementara 18 keluarga lainnya tetap bertahan.
Saat mencari nama untuk pemukiman mereka, G.I Gusti Kompiang Djiwa mengusulkan nama “Palasari”, yang diambil dari kata “Palas” (perpecahan) dan “Sari” (inti). Namun, Pastor Simon Buis SVD menyarankan makna yang lebih positif, sehingga nama tersebut diartikan sebagai gabungan dari “Pahala” dan “Sari”.
Usulan ini disetujui oleh A.A Panji Tisna, Raja Buleleng, dan sejak saat itu daerah ini dikenal sebagai Palasari. Pada tahun 1947, ejaan nama tersebut disempurnakan, dan Palasari resmi menjadi desa mandiri dengan G.I Gusti Kompiang Djiwa sebagai kepala desa pertamanya.
Pada tahun 1941, kelompok baru dari Karangasem yang dipimpin oleh I Made Hapian tiba di kawasan ini. Mereka membentuk permukiman di bagian barat yang kemudian dinamakan Karangsari, merujuk pada kampung halaman mereka.
Di sisi lain, pada tahun 1942, dampak Perang Asia Timur Raya membuat masyarakat Abiansemal dan Blahkiuh mengalami kesulitan ekonomi. A.A Ngurah Kediri bersama 82 kepala keluarga meminta izin kepada Dewan Raja-Raja Bali untuk menetap di Jembrana. Setelah mendapatkan persetujuan, mereka membuka hutan dan mendirikan pemukiman yang diberi nama Adnyasari.
Hingga tahun 1942, wilayah ini terdiri dari tiga desa yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, yaitu:
– Palalinggah, dipimpin oleh Pan Naderi
– Palasari, dipimpin oleh G.I Gusti Kompiang Djiwa
– Adnyasari, dipimpin oleh A.A Ngurah Kediri
Ketika masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, masyarakat dari ketiga desa ini bahu-membahu melawan penjajah. Dari pengalaman ini, tumbuh rasa persatuan di antara mereka.
Pada tahun 1950, para pemimpin desa dan masyarakat setempat melakukan musyawarah untuk menyatukan wilayah tersebut dalam satu administrasi desa. Kesepakatan akhirnya dicapai, dan desa baru diberi nama Ekasari, yang berasal dari kata “Eka” (satu) dan “Sari” (inti), melambangkan persatuan tiga desa tersebut.
Sebagai kepala desa pertama Ekasari, terpilihlah G.I Gusti Kompiang Djiwa. Saat itu, Ekasari terdiri dari lima banjar, yaitu:
1. Banjar Palarejo – dipimpin oleh Pak Katijah
2. Banjar Palasari – dipimpin oleh Pan Cateri
3. Banjar Adnyasari – dipimpin oleh I Gusti Ngurah Pegig
4. Banjar Karangsari – dipimpin oleh Gurun Pager
5. Banjar Palalinggah – belum memiliki kelian banjar yang tercatat
Pada tahun 1979, di bawah kepemimpinan I Gusti Agung Windia (periode 1977-1986), dilakukan pemekaran wilayah Ekasari sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1979. Pemekaran ini bertujuan meningkatkan efektivitas pemerintahan dan pembangunan. Akibatnya, jumlah banjar bertambah menjadi sepuluh, yakni:
1. Banjar Palarejo
2. Banjar Palasari
3. Banjar Wargasari
4. Banjar Parwatasari
5. Banjar Wanasari
6. Banjar Sadnyasari
7. Banjar Anggasari
8. Banjar Adnyasari
9. Banjar Palalinggah
10. Banjar Karangsari
Desa Ekasari berbatasan langsung dengan beberapa desa di sekitarnya, yaitu:
– Utara: Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng
– Timur: Desa Warnasari, Kecamatan Melaya
– Selatan: Desa Nusasari, Kecamatan Melaya
– Barat Daya: Desa Melaya, Kecamatan Melaya
– Barat: Desa Blimbingsari, Kecamatan Melaya
Perjalanan panjang Desa Ekasari dari hutan belantara hingga menjadi desa yang bersatu menggambarkan semangat kebersamaan yang kuat di antara para pendatangnya. Berawal dari tiga desa dengan latar belakang budaya berbeda, mereka akhirnya bersatu dalam satu identitas yang lebih besar.
Hingga kini, Ekasari tetap menjadi simbol persatuan dan pertumbuhan di Kabupaten Jembrana, dengan berbagai potensi wisata dan pertanian yang terus berkembang. (TB)