Desa Gulingan terletak di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali. Seperti halnya desa-desa lain di Bali, nama Gulingan diyakini memiliki latar belakang sejarah tersendiri yang berkaitan dengan awal mula terbentuknya desa ini.
Namun, belum ditemukan lontar atau sumber tertulis yang dapat dijadikan acuan pasti mengenai sejarahnya. Meski demikian, berdasarkan cerita turun-temurun yang disampaikan oleh para tetua desa, terbentuknya Desa Gulingan dapat ditelusuri melalui berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau.
Pulau Bali telah dikenal sejak zaman dahulu karena keindahan alamnya dan budayanya yang tinggi, yang berakar kuat pada ajaran Hindu. Sejak era Bali Purba hingga berkembangnya ajaran Siwa Sidhanta dan Buddha Mahayana, banyak tokoh suci dari Jawa datang ke Bali.
Salah satu yang pertama adalah Danghyang Markandya, seorang pendeta dari Jawa Timur yang menetap di kaki Gunung Agung untuk membangun pasraman dan membuka lahan bagi pengikutnya. Kemudian, ada juga Mpu Sangkul Putih yang menjaga kesucian Pura Besakih serta mengajarkan seni bebali dan berbagai ajaran spiritual kepada masyarakat Bali.
Mpu Manik Angkeran, putra dari Danghyang Sidhimantra, juga memiliki peran dalam sejarah Bali, terutama dalam kaitannya dengan pemisahan tanah genting di Selat Bali. Mpu Kuturan, tokoh penting lainnya, datang dari Jawa Timur dan mendirikan pasraman di Pura Silayukti, Karangasem. Ia memperkenalkan konsep Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit serta sistem pemerintahan dan ajaran keagamaan lainnya.
Tokoh lain yang memiliki jejak di Bali adalah Danghyang Dwijendra atau dikenal juga sebagai Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Beliau berasal dari keluarga brahmana di Majapahit dan menikah di berbagai daerah, termasuk di Bali, di mana keturunannya melanjutkan tradisi brahmana. Salah satu putranya, Ida Padanda Sakti Telaga atau dikenal sebagai Padanda Sakti Ender, menjadi tokoh penting yang berperan dalam sejarah Desa Gulingan.
Dalam pengembaraannya, Padanda Sakti Ender menemukan tempat yang disebut Subak Bulan. Di tempat ini, ia membangun pangasraman dan membuka lahan pertanian bagi pengikutnya. Suatu hari, ia melihat nyala api dari kejauhan dan merasa tempat itu memiliki makna spiritual.
Ia lalu mendirikan tempat suci yang dikenal sebagai Pura Gede Bang Api, yang kini berada di Banjar Ulun Uma Badung, sebelah utara Banjar Babakan. Selama tinggal di daerah ini, Padanda Sakti Ender banyak memiliki pengikut, baik yang serius dalam belajar maupun yang gemar bercanda.
Suatu ketika, ia diminta untuk mengambil daun sirih tanpa memanjat pohon tunjangannya. Dengan kesaktiannya, ia menggunakan mantra pangeradana hingga pohon sirih itu melepaskan diri dari penyangganya dan jatuh ke tanah.
Ada pula peristiwa di mana seorang muridnya mempersembahkan buah nangka, tetapi ketika ditanya, ia mengatakan bahwa itu adalah semangka. Demikian pula, ada yang membawa semangka tetapi mengklaim bahwa itu adalah daging guling.
Dalam satu peristiwa, saat orang-orang di Banjar Lebah sedang memasak daging guling, mereka buru-buru menyembunyikannya ketika melihat kedatangan Padanda Sakti Ender. Ketika ditanya, mereka mengaku bahwa yang mereka sembunyikan adalah timun guling.
Sang pendeta pun mengamini perkataan mereka. Namun, setelah ia pergi, orang-orang itu terkejut karena daging yang mereka sembunyikan benar-benar berubah menjadi timun guling.
Akibat peristiwa ini, tempat tersebut akhirnya disebut Gulingan, yang berasal dari kata pegulingan dalam bahasa Jawa Kuno, yang berarti tempat istirahat atau tidur. Dari kata inilah kemudian lahir nama Desa Gulingan.
Selain cerita lisan, ada pula prasasti yang menyebutkan keberadaan pengasraman suci di sebelah timur Pura Mahapura. Beberapa peninggalan sejarah masih dapat ditemukan di desa ini, seperti Goa Lalu Pati di sebelah timur Pura Desa Adat Gulingan yang menghadap ke barat dan berhadapan dengan Pancoran Lalu Pati.
Di Pura Desa dan Pura Puseh juga terdapat Lingga Yoni, yang melambangkan Siwa dan sakti-Nya. Selain itu, terdapat Pancoran Saraswati yang mengalir ke selatan, berpapasan dengan aliran air dari selatan ke utara.
Di bagian selatan Pancoran Saraswati terdapat Banjar Panglan, yang kemungkinan berasal dari kata pamuwonan atau setra (kuburan). Tempat ini diyakini berkaitan dengan pangasraman di Goa Lalu Pati dan hingga kini masih digunakan oleh masyarakat Banjar Babakan sebagai tempat pemakaman.
Berdasarkan berbagai data tersebut, dapat disimpulkan bahwa Desa Gulingan telah ada sebelum kedatangan Danghyang Dwijendra di Bali, bahkan sebelum abad ke-15. Sedangkan nama Gulingan mulai dikenal luas sejak abad ke-17, terutama setelah kedatangan Ida Padanda Sakti Ender.
Dalam sejarah Kerajaan Mengwi, Desa Gulingan juga mendapat perhatian khusus dari Raja Mengwi, Cokorda Munggu, yang mengatur tata letak banjar dan penempatan warganya. Hal ini menunjukkan bahwa sejak dahulu, Desa Gulingan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat di wilayah Mengwi. (TB)