Desa Kerta, yang berada di Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali, memiliki sejarah panjang yang berakar pada kedatangan seorang tokoh suci bernama Rsi Markandeya. Beliau dikenal tidak hanya sebagai seorang pendeta tetapi juga sebagai seorang arsitek sakti yang memiliki wawasan spiritual mendalam.
Pada masa lampau, sebelum berdirinya Kerajaan Payangan, Rsi Markandeya melakukan perjalanan spiritual dan bertapa di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Pengaji.
Dalam pertapaannya, beliau mendapatkan pawisik mengenai sebuah wilayah suci yang baik dan layak dihuni. Tempat itu kemudian disebut dengan nama “Payangan,” yang berasal dari kata “Para” dan “Hyang,” yang berarti tempat suci.
Saat melanjutkan perjalanannya di kawasan Payangan, Rsi Markandiya tiba di sebuah hutan lebat yang dihuni oleh berbagai binatang liar. Bersama para pengikutnya, ia membuka lahan tersebut untuk dijadikan daerah pertanian.
Namun, wabah penyakit menyerang para pengikutnya, menyebabkan banyak yang jatuh sakit. Menyikapi hal ini, Rsi Markandeya melakukan ritual pemujaan untuk memohon keselamatan dan kesembuhan bagi mereka. Dengan kesaktiannya, Rsi Markandeya berhasil mengusir wabah tersebut, dan tempat pemujaannya kemudian dinamakan “Alas Angker.”
Kini, di lokasi tersebut berdiri sebuah tempat suci yang dikenal sebagai Pura Dang Kahyangan atau “Pura Alas Angker.” Setelah pemukiman terbentuk, tanah di kawasan tersebut terbukti sangat subur, memungkinkan para pengikut Rsi Markandeya untuk bercocok tanam dengan hasil melimpah.
Kehidupan yang makmur ini membuat daerah tersebut dinamakan “Kertha,” yang berarti “sejahtera.” Nama ini bertahan hingga saat ini sebagai Desa Kerta.
Pada tahun 1958, Desa Kerta resmi ditetapkan sebagai desa definitif yang dipimpin oleh seorang Perbekel atau Kepala Desa. Perbekel pertama dari Desa Kerta adalah Tjokorda Gede Alit, kemudian berlanjut oleh Anak Agung Gede Agung (1977-1993), I Made Kicen Suarthana (1993-2007).
Dengan sejarah panjangnya, Desa Kerta tidak hanya menjadi saksi perjalanan spiritual dan pertanian, tetapi juga simbol kesejahteraan bagi masyarakatnya hingga kini. (TB)