![]() |
Pantai Lebih/Istimewa |
Desa Lebih, merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Bali. Dari data BPS, hingga 2014, jumlah penduduk di desa ini sebanyak 6 ribu jiwa lebih.
Keberadaan desa ini juga memiliki sejarah yang panjang yang menarik untuk diulas. Dan dilansir dari website resmi Desa Lebih, berikut ini adalah sejarah desa tersebut.
Pada abad ke-13, Kerajaan Bedahulu menghadapi invasi dari Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada. Serangan tersebut dilancarkan dari dua arah, yaitu dari selatan oleh Gajah Mada sendiri dan dari utara oleh Arya Damar.
Dalam peperangan ini, pasukan Majapahit berhasil menaklukkan Patih Pasung Grigis di utara, sementara Patih Kebo Iwa dikalahkan melalui strategi tipu daya oleh Gajah Mada. Keberhasilan ini menandai kekalahan Bedahulu dan Bali resmi menjadi wilayah kekuasaan Majapahit pada tahun 1343 M.
Ketika Gajah Mada datang ke Bedahulu, ia bersama pasukannya menggunakan perahu yang dikenal sebagai rangkung. Mereka sering berlabuh di pantai dekat Blahbatuh. Karena seringnya kapal mereka tiba di tempat tersebut, kawasan itu kemudian dikenal dengan nama Rangkung. Meskipun kisah ini tidak tercatat dalam babad resmi, cerita ini terus diwariskan secara lisan oleh masyarakat.
Setelah Bali resmi berada di bawah kekuasaan Majapahit, selama tujuh tahun Bali tidak memiliki raja dari Majapahit. Kekuasaan sementara diserahkan kepada Ki Agung Gelgel.
Pada tahun 1350 M, Patih Gajah Mada mengutus seorang Adipati bernama Sri Maharaja Kepakisan untuk memimpin Bali. Beliau dikenal sebagai Dalem Ketut Ngelesir dan berkedudukan di Samprangan.
Dalem Ketut Ngelesir mengalami gejolak dari masyarakat Bali Aga yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan beliau. Akibatnya, delegasi Bali dikirim ke Majapahit untuk meminta izin agar Sri Kresna Kepakisan kembali ke tanah Jawa.
Namun, Gajah Mada menolak permintaan ini. Sebagai simbol kepemimpinan, ia memberikan keris bernama Durga Dungkul dan seperangkat pakaian kepada delegasi tersebut, menegaskan bahwa Bali tetap berada di bawah kendalinya.
Saat perjalanan pulang, delegasi tersebut melewati sejumlah tempat sebelum akhirnya tiba di pesisir Rangkung. Dari sini, mereka berjalan kaki menuju Samprangan. Nama Rangkung kemudian diasosiasikan dengan kata “langkung” atau “lebih,” yang dipercaya menjadi asal-usul nama Desa Lebih.
Pada masa pemerintahan di Samprangan, kekuasaan terus bergulir di bawah para raja seperti Dalem Ketut Ngelesir, Dalem Tarukan, dan Dalem Waturenggong. Pada masa Dalem Waturenggong (1460–1550 M), seorang tokoh spiritual bernama Danghyang Nirartha mengelilingi Bali. Beliau singgah di tempat yang kini dikenal sebagai Pura Masceti dan Pura Candi Agung, yang menjadi bagian penting dari sejarah Desa Lebih.
Ketika Dinasti Gelgel mengalami konflik internal, kekuasaan berpindah-pindah hingga akhirnya stabil di Gianyar. Untuk memperkuat pertahanan, I Dewa Manggis III mengirim pasukan ke Lebih, menjadikannya sebagai benteng strategis yang dipimpin oleh keturunan Ki Gede Meranggi Dana.
Perlahan, Desa Lebih berkembang menjadi wilayah yang mencakup tujuh dusun, yaitu Dusun Lebih Beten Kelod, Dusun Lebih Duur Kaja, Dusun Kesian, Dusun Serongga Kelod, Dusun Serongga Tengah, Dusun Serongga Kaja, dan Dusun Cebaang.
Pada 16 November 1991, wilayah Desa Lebih dimekarkan menjadi dua desa: Desa Lebih dan Desa Serongga. Desa Lebih kini terdiri dari Dusun Lebih Beten Kelod, Dusun Lebih Duur Kaja, dan Dusun Kesian, sementara Desa Serongga mencakup empat dusun lainnya.
Dusun Lebih Beten Kelod, nama ini diambil dari letak geografisnya yang berada di bagian paling selatan dan rendah. “Beten” berarti bawah, dan “Kelod” berarti selatan.
Dusun Lebih Duur Kaja, nama ini merujuk pada posisinya yang lebih tinggi (duur) dan terletak di utara (kaja) dari Dusun Lebih Beten Kelod.
Dusun Kesian, awalnya bernama Dusun Batan Tingkih, wilayah ini dipindahkan ke timur laut dan diberi nama “Kesehan,” yang berarti diganti atau diperbaiki. Nama ini kemudian berubah menjadi Kesian seperti yang dikenal sekarang.
Desa Lebih memiliki sejarah panjang yang sarat dengan dinamika politik, budaya, dan spiritual. Jejak-jejak sejarah ini masih terlihat melalui tempat-tempat suci seperti Pura Masceti dan Pura Candi Agung, serta warisan kisah yang terus dilestarikan oleh masyarakat setempat. Melalui pembentukan wilayah yang strategis, Desa Lebih kini menjadi bagian penting dari sejarah dan budaya Bali. (TB)