Menelusuri sejarah Desa Madenan di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali, bukanlah perkara mudah.
Minimnya sumber tertulis dan dokumentasi membuat asal-usul desa ini nyaris terlupakan.
Namun, melalui penuturan para tetua dan tokoh masyarakat, serta berdasarkan kisah-kisah turun-temurun yang diwariskan dari generasi ke generasi, secercah gambaran masa lalu desa ini mulai terungkap.
Konon, pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir dari Kerajaan Gelgel sekitar abad ke-14 hingga ke-15 Masehi, Bali pernah diguncang kerusuhan hebat.
Konflik tersebut melibatkan sejumlah desa Bali Aga seperti Bondalem, Les, Tembok, Tianyar, dan termasuk pula sebuah wilayah bernama Alas Gunung Sari.
Situasi yang makin tak terkendali membuat Dalem Ketut Ngelesir meminta bantuan ke Majapahit, kerajaan besar di tanah Jawa kala itu.
Merespons permintaan tersebut, Majapahit mengirim seorang pangeran beserta para patihnya, seperti Patih Cempida dan Patih Angan.
Mereka mendarat pertama kali di Pulaki, lalu melanjutkan perjalanan ke Besakih untuk memohon keselamatan spiritual sebelum akhirnya menetap di Muteran (sekarang masuk wilayah Rendang, Karangasem).
Dari markasnya di Muteran, sang pangeran mulai melakukan penyamaran ke desa-desa yang dilanda kekacauan, termasuk menyerang kembali Desa Alas Gunung Sari yang saat itu menjadi salah satu pusat pemberontakan.
Berdasarkan prasasti yang ditemukan di Desa Tojan, Klungkung, disebutkan bahwa serangan pertama dimulai dari Desa Dausa dan berlanjut ke desa-desa lainnya.
Dari informasi tersebut, diyakini bahwa Desa Madenan dulunya adalah bagian dari Alas Gunung Sari, yang lokasinya berada sekitar satu kilometer dari posisi Desa Madenan saat ini.
Selain sumber sejarah lisan dan prasasti, asal-usul nama Madenan juga diyakini berakar dari kisah rakyat yang hidup dalam tradisi masyarakat setempat.
Alkisah, Desa Alas Gunung Sari pernah dilanda wabah penyakit yang sangat mematikan, menyebabkan hampir seluruh penduduknya meninggal dunia.
Dengan keterbatasan tempat pemakaman yang hanya memiliki 18 lubang kubur, banyak jenazah yang tak tertampung dan akhirnya dikuburkan secara massal di satu lokasi yang disebut Bangke Tambun (bangke = mayat, tambun = bertumpuk).
Wabah ini hampir memusnahkan seluruh desa, menyisakan hanya tujuh kepala keluarga (KK) yang berhasil selamat.
Mereka kemudian memutuskan untuk berpindah tempat ke arah barat laut dan menetap di wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Madenan.
Dalam proses hijrah ini, mereka berjalan perlahan, atau dalam istilah Bali disebut meadengan, yang kemudian diyakini mengalami pergeseran fonetik menjadi “Madenan”.
Kini, Desa Madenan telah berusia ratusan tahun. Penduduknya merupakan keturunan dari tujuh keluarga pelopor yang menetap di wilayah tersebut usai tragedi besar menimpa desa asal mereka.
Seiring waktu, keturunan mereka berkembang dan membentuk banjar-banjar seperti Gentuh, Sangambu, dan Keduran.
Sampai hari ini, identitas leluhur tetap dijaga dengan keberadaan 14 Dadya (kelompok keluarga besar) yang masing-masing memiliki pura keluarga atau pura kawitan.
Pura ini menjadi tempat persembahyangan untuk mengenang asal-usul dan leluhur yang dahulu membangun dan mempertahankan keberadaan desa Madenan hingga kini. (TB)