Desa Pancasari, yang kini menjadi bagian dari Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali, memiliki sejarah panjang dan sarat makna yang bermula pada awal abad ke-20.
Terbentuknya desa ini dimulai pada tahun 1912, saat empat kepala keluarga dari Desa Padang Bulia — I Gusti Ketut Jen, I Gusti Ketut Panji, I Gusti Kompyang Batam, dan I Gusti Ketut Las — memperoleh izin dari Punggawa Distrik Sukasada, I Gusti Bagus Cakra, untuk membuka lahan pemukiman baru di wilayah yang kini dikenal sebagai Pancasari.
Didukung oleh warga dari Desa Padang Bulia dan Desa Pegayaman, mereka menamai pemukiman baru tersebut sebagai Banjar Sari.
Pada masa awal, kondisi wilayah tersebut masih sangat liar dan penuh tantangan alam seperti banjir, longsor, serta ancaman hewan buas.
Karena kekuatan fisik dan kepemimpinannya, I Gusti Ketut Jen diangkat sebagai kelian banjar pertama dari tahun 1912 hingga 1919.
Perjalanan kepemimpinan Banjar Sari terus berlanjut dan mengalami perkembangan, terutama di bidang pertanian yang mulai tumbuh pesat di bawah kepemimpinan I Gusti Made Endra (1919-1920).
Perkembangan ini menarik kedatangan para pedagang atau pengalu.
Namun, kondisi infrastruktur yang masih sangat minim — seperti jalan berlumpur saat hujan — membuat para pedagang menjuluki wilayah tersebut dengan sebutan Banjar Benyah.
Setelah beberapa kali berganti pemimpin, termasuk I Gusti Made Murka yang gugur dalam perjuangan melawan penjajah, Banjar Benyah akhirnya berada di bawah kepemimpinan yang terbagi karena kondisi sosial yang tidak stabil.
Bagian utara dipimpin oleh Pan Widia Merta dan Pan Nila, sementara bagian selatan dipimpin oleh Nengah Raja dan Wayan Sukertha.
Ketidakterpaduan ini menimbulkan dorongan kuat dari masyarakat untuk menjadikan Banjar Benyah sebagai desa mandiri yang terpisah dari Desa Gitgit.
Perjuangan menuju kemandirian akhirnya membuahkan hasil.
Berkat usaha gigih I Gusti Nyoman Sadra dan Pan Nila, pada tahun 1954, Banjar Benyah resmi berdiri sebagai Desa Benyah.
Perjalanan administratif desa ini terus berlanjut hingga akhirnya pada tahun 1966, atas inisiatif I Wayan Widia — yang saat itu menjabat sebagai kepala prebekel — nama Desa Benyah diubah menjadi Desa Pancasari.
Pergantian nama ini bukan tanpa alasan. Masyarakat sering dilanda berbagai bencana besar, dan kata Benyah yang berarti “hancur” atau “rusak” dinilai tidak membawa keberuntungan.
Melalui sebuah pawisik (bisikan gaib), I Wayan Widia mengusulkan nama Pancasari, yang diterima oleh masyarakat dalam musyawarah desa.
Nama ini mencerminkan lima banjar yang menjadi struktur utama desa: Banjar Sari Kelod, Banjar Sari Kangin, Banjar Sari Kaja, Banjar Sari Kauh, dan Banjar Sari Tengah.
Lima banjar ini merepresentasikan lima arah mata angin dalam filosofi Hindu yang bertujuan menjaga keseimbangan antara Bhuana Agung (alam semesta) dan Bhuana Alit (diri manusia). (TB)