![]() |
Sumber: radarbali.jawapos.com |
Desa
Pedawa terletak di Bali Utara, tepatnya di Kecamatan Banjar, Kabupaten
Buleleng, Bali. Desa ini memiliki luas 16.68 km persegi. Sebelum menjadi Desa
Pedawa, ada beberapa nama untuk wilayah ini. Nama itu seperti Gunung Tambleg
dan Gunung Sari.
Dari
cerita yang diwariskan turun-temurun, bahwa daerah yang sekarang yang bernama
Pedawa, pada mulanya bernama Gunung Tambleg yang terdiri atas Tambleg artinya lugu
atau sederhana. Nama ini berhubungan dengan keadaan pemikiran masyarakat Desa
yang pada waktu itu masih sederhana.
Kemudian
nama itu berubah menjadi Gunung Sari. Diduga pemberian nama ini karena saat
itu, masyarakat hidup dari menyadap nira untuk di jadikan gula yang disebut gula
sari. Jadi hasil perkebunan waktu itu adalah gula sari. Nama Gunung tambleg
lama kelamaan makin jarang dipakai dan kemudian tidak pernah di pakai kembali,
sebaliknya nama Gunung Sari masih di pakai sampai saat ini namun hanya pada
waktu ngateb upacara saja.
Menurut
sebuah lontar yang ada di Desa Kedisan, Kecamatan Kintamani Bangli, disebutkan ada
seorang raja yang datang ke desa Bestala. Di sana raja tersebut menanyakan pada
hadirin apakah rakyat beliau dari desa Pandawa sudah hadir.
Sehubungan
hal tersebut nama Pedawa, erat hubungannya dengan Prasasti Sanding berangka
tahun 1072 caka (1150) yang memuat tentang Raja Jaya Sakti yang bersemayam di Gunung
Lempuyang yang sering mengunjungi daerah (Desa-desa di Bali), dan Sri Maha Raja
Jaya Sakti juga memiliki pesanggrahan di bantiran tempat beliau menginap bila
akan ke Jawa. Mengingat daerah bantiran dekat dengan Pedawa, maka Sri Maha Raja
Jaya Sakti atau Maha Raja Dima, atau Sri Bayu atau Sri Jaya atau Sri Jaya Sakti
kemungkinan pernah ke Pedawa.
Menurut
cerita yang diwarisi turun temurun di Pedawa, dahulu mayat-mayat orang Pedawa
tidak dikubur. Kalau ada anak-anak yang meninggal mayatnya dimasukkan ke lubang
pohon besar dekat desa. Sedangkan kalau orang dewasa atau orang tua disemayamkan
di bawah pohon dan dihias bunga kembang sepatu serta diisi bekal atau takilan.
Pada
suatu ketika datanglah Raja Bima yang diiringi oleh Pendeta atau Dukuh Manca
Bila dan meminta agar dilakukan penguburan mayat di Gunung Sari tersebut.
Semenjak itu barulah mayat dikubur dan diupacarai. Oleh karena di gunung sari
tidak ada menak atau Brahmana, maka yang bertugas membuat tirta pembersihan dan
pangentas adalah Dukuh Manca Bila.
Pada
waktu Raja Bima di Gunung Sari, tempat permandian beliau disebut Toya Bima dan
dipercaya menyebabkan orang kebal kalau mandi di sana. Di tempat permandian ini
didirikan sebuah pura yang dikenal dengan Pura Dalem. Namun wasiat air kebal
itu sekarang sudah tidak tampak.
Setelah
mayat mulai dikuburkan, Sri Maha Raja Bima kembali ke kerajaannya, sedangkan Dukuh
Manca Bila tetap di Gunung Sari. Setelah beliau wafat dibuatkan pelinggih di Jaba
Pura Dalem yang bernama Pelinggih Dukuh.
Dalam
tokoh pewayangan Sang Bima adalah keluarga Pendawa (Pandawa), sehingga
masyarakat Pedawa dianggap keturunan Bima. Sedangkan Gobleg Keturunan Dharmawangsa,
Tigawasa Arjuna, Cempaga Nakula, Sidatapa Saha Dewa. Sejak saat itulah Gunung
Sari juga dikenal dengan nama Pandawa yang kemudian menjadi Pedawa.
Sementara
itu, menurut Babad Kayu Selem ada disebutkan saat Sri Kresna Kepakisan menjadi
raja dan melakukan pertemuan di Sompongan, beliau mengutus Kiayi I Gusti Agung
Pasek Gelgel dan Kiayi I Gusti Pangeran Pasek Toh Jiwa untuk mendampingi
pertemuan itu. Pasek Kayu Selem di Tampurhyang Batur yang hadir pada pertemuan
itu adalah Tenganan Pegeringsingan, Seraya, Sidetapa, Pedawa, Sukawana, Taro.
Sebagai peminpin pertemuan Kiyai Tarulu, Kiyai Selem, Kiayi Trunyan, Kiyai Badengan,
Kiayi Tangi, Celagi Gentoh, Kiayi Tarum, Kiayi Panarojan, Kiayi Putih, Pasek
Suka Luwih. Dalam pertemuan tersebut muncul nama Pedawa sekitar tahun 1350-1380
saat masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan. (TB)