Desa Pedawa terletak di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Desa ini memiliki sejarah panjang yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi.
Sebagai salah satu desa tua atau Bali aga di Bali Utara, Pedawa menyimpan banyak kisah mengenai asal-usulnya, yang tidak sepenuhnya tercatat dalam prasasti atau lontar khusus. Namun, beberapa catatan sejarahnya ditemukan dalam lontar-lontar dari luar desa.
Dilansir dari website Desa Pedawa, sebelum dikenal sebagai Pedawa, desa ini bernama Gunung Tambleg. Para leluhur Pedawa berasal dari wilayah Tamblingan, namun akibat faktor tertentu seperti serangan musuh atau bencana alam, mereka berpindah ke berbagai tempat, termasuk Gobleg, Munduk, Selat, Kayuputih Melaka, dan Pedawa.
Keberadaan manusia di wilayah Pedawa dapat ditelusuri sejak zaman Megalitikum, yang dibuktikan dengan ditemukannya berbagai peninggalan seperti sarkofagus, gaingan, dan tempat pemujaan tradisional. Salah satu situs penting adalah Pura Telaga Waja yang memiliki pengempelan, yakni tempat pemujaan suci untuk Ida Batara Pengempelan, Rambut Siwi, dan Gunung Raung.
Beberapa tahun lalu, komunitas Kei dari Maluku Tenggara melakukan perjalanan ke Pedawa untuk menelusuri jejak leluhur mereka. Setelah melakukan berbagai penelitian dan kunjungan, mereka yakin bahwa nenek moyang mereka berasal dari Pedawa.
Pedawa memiliki berbagai keunikan dalam sistem adat dan kepercayaan. Dahulu, desa ini tidak mengenal struktur kepemimpinan adat seperti Bendesa atau Prajuru Adat. Namun, pada tahun 1985, dibentuklah Prajuru Adat untuk membantu Penghulu yang saat itu sudah lanjut usia dan tidak bisa membaca tulisan Latin.
Sistem kepercayaan di Pedawa juga berbeda dengan desa-desa lain di Bali. Jika kebanyakan desa adat memiliki konsep Kahyangan Tiga, Pedawa memiliki enam tempat pemujaan utama yang disebut dangkaian desa. Selain itu, sistem upacara di Pedawa tidak menggunakan odalan, melainkan lelintih nemugelang.
Dalam aspek kesenian, Pedawa memiliki alat musik khas berupa Gong Selunding, berbeda dengan Gong Kebyar yang umum ditemukan di Bali. Selain itu, berbagai permainan tradisional seperti gangsing, mecikal-cikalan, dan tajog masih lestari di desa ini.
Mayoritas penduduk Pedawa bermata pencaharian sebagai petani. Sejak dahulu, mereka terkenal sebagai penyadap aren yang menghasilkan gula aren berkualitas tinggi. Namun, seiring waktu, banyak penduduk yang beralih ke perkebunan kopi, cengkeh, serta buah-buahan seperti durian dan manggis.
Gaya hidup masyarakat Pedawa juga cukup unik. Mereka memiliki kebiasaan menikmati kopi dengan cara yang berbeda, yaitu memakan gula aren secara langsung tanpa mencampurkannya ke dalam kopi. Makanan pokok mereka dahulu adalah ketela pohon, keladi, dan ubi yang disantap bersama kopi.
Desa ini juga memiliki kuliner khas, seperti jaje buah bunut, sate keladi, dan bandut. Sate keladi, yang awalnya hanya dibuat dari keladi dan bumbu khas, kini dikreasikan dengan tambahan daging atau ikan untuk meningkatkan cita rasa.
Dahulu, masyarakat Pedawa memiliki tradisi unik dalam pemakaman. Anak-anak yang meninggal ditempatkan di dalam lubang pohon besar, sementara orang dewasa diletakkan di bawah pohon dengan hiasan bunga kembang sepatu serta bekal makanan.
Namun, ketika Raja Bima datang ke Pedawa bersama Dukuh Manca Bila, ia mengusulkan agar mayat dikuburkan dengan upacara tertentu. Sejak saat itu, sistem pemakaman berubah, dan Dukuh Manca Bila bertugas membuat tirta pembersihan bagi jenazah.
Di Gunung Sari, tempat permandian Raja Bima yang dikenal sebagai Toya Bima diyakini memiliki kekuatan gaib yang membuat seseorang kebal jika mandi di sana. Sebuah pura, Pura Dalem, kemudian didirikan di lokasi tersebut.
Masyarakat Pedawa percaya bahwa mereka adalah keturunan Bima, salah satu tokoh Pandawa dalam kisah Mahabharata. Desa-desa di sekitarnya juga dikaitkan dengan tokoh pewayangan lainnya, seperti Gobleg dengan Dharmawangsa, Tigawasa dengan Arjuna, Cempaga dengan Nakula, dan Sidatapa dengan Sahadewa. Sejak saat itu, Gunung Sari dikenal dengan nama Pandawa, yang kemudian berubah menjadi Pedawa.
Sejarah dan tradisi unik Desa Pedawa menjadi bukti kekayaan budaya yang terus dijaga oleh masyarakatnya. Keberadaan desa ini memberikan gambaran tentang peradaban tua yang masih bertahan hingga kini, dengan kearifan lokal yang khas dan mendalam. (TB)